Tentu akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk memahami teks-teks ambigu dalam Al Minhaj karya Zakariyya Al Anshari, Al Kanz karya Al Nasafi atau mungkin Mukhtashar Khalil. Dibutuhkan proses adaptasi terhadap gaya bahasa yang tak lazim dan penalaran yang berat dan njlimet. Pun masih dibutuhkan kewaspadaan akan kesalahpahaman dalam membaca dan memahami.
Waktu belajar dan jenjang pendikan yang disediakan bisa jadi akan tidak efektif jika dikonsentrasikan untuk mengkaji tiga buku itu atau buku-buku semisalnya. Karya-karya yang ditulis dengan target pengkayaan masalah dan penghematan kosa kata dan kalimat di samping mempersulit juga tidak mendidik kea rah kreatifitas hukum karena seringali tidak menyertakan proses istidlal dan penyertaan argumentasi.
Banyak orang yang mengatakan jika kita memang hanya sampai pada level muqallid kenapa ita harus belajar istidlal. Toh sepandai apapun kita tidak boleh melampaui pendapat pendahulu, mentarjih apalagi berseberangan dengan mereka. Masa-masa kreatifitas itu sudah tutup jika tidak boleh dikatakan bangrut. Apa manfaatnya kita belajar istidlal atau mengkaji karya-karya ulama belakangan sekarang ini.
Pendapat atau bisa jadi prinsip di atas bisa jadi benar untuk kalangan awam. Akan tetapi tentu saja tidak untuk kalangan pengkaji atau pakar fikih. Mereka bertanggungjawab memberikan solusi hukum bagi permasalahan baru yang mengharuskan ada proses kreatifitas istdilal dan penalaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang sama sekali baru. Minimal mereka harus mengerti darimana patron imam mereka mengambil sumber hukum, mengerti bagaimana pendapat yang bersebarang dan bagaimana mereka melakukan istidlal.
Berhentinya level tradisi fikih pad taraf seperti ini lah yang bertanggung jawab atas kemandekan opini-opini fikih yang seharusnya bisa ditawarkan dalam ranga pembangunan hukum dalam konteks modern. Hal itu disebabkan karena praktisi fikih merasa tidak mempunyai pendapat atas permasalahan-permasalahan baru yang muncul dan tidak adanya upaya kreatif memikirkannya dalam konteks variable hukum yang serba baru atau belum pernah ada.
Fenomena semacam ini bisa jadi juga dipengaruhi oleh kebjakan pendidikan fikih yang tidak mengarah kepada penciptaan nalar kreatif dan otentik. Kurikulum dan akses buku-buku fikih abad ke 4 H dan 5 H misalnya, terutama yang dibesut oleh pemimpin madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, Al Auza’i, Al Syafi’i, Ibn Hanbal, Al Thabari, Ibn Hazm dan sebagainya, jarang disentuh dan dikaji secara mendalam.
Sehingga, seperti apa yang diharapkan oleh Muhammad Khudlari Bik dalam bukunya Tarikh Al Tasyri Al Islami, dibutuhkan sekarang ini model pendidikan fikih yang berorientasi kepada buku-buku induk. Sistem juga dibuat berjenjang dengan orientasi penguasaan yang bertahap. Barangkali pertama-tama mereka disuguhi dengan pendapat-pendapat Imam madzhab dengan memilih buku yang mudah dipahami.
Tahap kedua mereka mulai mengakses karya-karya yang mempresentasikan berbagai pendapat mam madzhab yang ditulis oleh imam dalam madzhab yan kadang berbeda dengan Imam mereka. Atau mereka yang biasa mentarjih dan memliih saah satu pendapat dengan memperhatikan kekuatan argumentasi. Dalam hal ini bisa dipilihkan buku-buku yang mempresentasikan opini-opini madzhab yang berbeda. Pada tahap ini mereka mulai belajar tafsir dan hadits.
Tahap terakhir mereka mengkhususkan diri pada kajian fqh dan ushul. Begitu juga apa yang berhubungan dengan hukum yang diambil dari sumber Al Quran dan Hadits. Mereka harus mulai mempelajari pendapat Imam dan memperhatikan metode istidlal mereka. Hal ini dilakukan dengan memlihkan buku-buku induk yang ditulis pada abad ke 4 H dan 5 H. buku-buku ini lah yang menyimpan ruh fikih sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar