Kamis, 03 Januari 2008

Problem Pendidikan Ilmu Fikih

Mulai awal abad ke 10 H nyaris kita tidak bisa menemukan lagi di Mesir pakar fikih sekaliber Al Izz Ibn Abdissalam, Ibn Al Hajib, Ibn Daqiq Al Id, Ibn Al Rif’ah, Ibn Taimiah, Al Subki, Ibn Al Qayyim, Al Bulqini, Al Isnawi dan Kamal Ibn Al Hamam. Pun pakar sekaliber dua jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan jalauddin Al Suyuthi. Praktis tradisi fikih yang kreatif lambat laun diambang kematian.

Setelah periode para pakar itu kemudian tidak ditemukan kecuali kelompok pengkaji fikih yang mencukupkan diri dengan karya sebelumnya dan menghindari pembahsan fikih antar madzhab. Jika pun mereka mengkaji fikih, mereka mencukupkan diri dengan buku-buku ikhtishar yang sulit dan rumit untuk dipahami. Yang untuk memahai maksud penulis saja memerlukan waktu yang cukup panjang.

Sejarawan fikih, Muhammad Khudlari Bik, dalam bukunya Tarikh Al Tasyri Al Islami mengembalikan kematian tradisi kreatifitas dan otentisitas fikih kepada tiga faktor. Pertama, keterputusan hubugan antara ulama di berbagai wilayah Islam. Sebagaimana dilukiskan oleh G. Makdsi bahwa salah satu cirri khas tradisi intelektual Islam adalah kosmopolitanisme. Seorang pakar fikih pada masa-masa awal Islam akan lebih dihargai ketika ia melakukan perkelanaan dan melakukan talaqi dengan para guru yang otoritatif.

Jika kita melihat biografi para ulama fikih akan menemukan bagaimana mereka mempunyai tradisi perkelaaan untuk belajar fikih dn hadits. Makkah adalah tempat di mana para ulama melakukan reuni intelektual dan perkenalan dengan ulama lain. Mereka bertukar ikira dan pengalaman untuk menambah materi pengetahuan dan meningkatkan kasih sayang di antara mereka. Dalam arti, jaringan keilmuan dan emosiaonal antara para ulama betul-betul terpelihara.

Salah satu alasan para ulama untuk melakukan perkelanaan adalah adalah berangkat dari anggapan bahwa salah satu pondasi dari intelektualistas mereka adalah talaqqi dan periwayatan. Mereka menganggap bahwa belajar dari bacaan tidak lah mencukupi. Karena buku dianggap kaku, diam dan beku. Sedangkan talaqqi memberikan kesempatan bagi ulama untuk mengembangkan wacana dengan melakukan perdebatan dan dialog.

Kedua, keterputusan hubungan antara kita dengan buku-buku induk yang dkarang oleh Imam Madzhab. Kajian terhadap buku-buku Induk karangan Imam Malik, Syafi’I dan Abu Hanidah sudah hampir tidak diketemukan. Para ulama belakagan lebih mnegenal pendapat dan ijtihad para generasi setelah abad ke 4 daripada generasi pertama. Buku-buku yang menjadi refernesi bacaan mereka ternyata dalah produk fikih di masa-masa merosotnya nilai kreatifitas dan otentisitas.

Ketiga, akibat negative dari tradisi ikhtishar yang cenderung mempersulit pemahaman fikih. Ikhtishar bukan lah hal baru. Ia sudah di mulai pada masa-masa pertama fikih berkembang. Ikhtishar pada masa-masa pertama leih kepada menyortir bagian-bagian buku yang dianggap tidak perlu. Kemudian juga ada upaya mencoba-sistemasisasikan pembahasan. Adapun gaya ikhtishar selanjutnya berubah menjadi sebuah tradisi yang asing. Yaitu mengumpulkan berbagai permasalahan dengan bahasa sedikit dan sehemat mungkin. Hasilnya adalah buku-buku fikih yang susah dan rumit untuk dipahami.

Ketika karakter dan insting bahasa Arab (al saliqah al arabiyyah) menjadi lemah maka rangkaian kalimat dalam buku-buku itu menjadi tek-teks ambigu, rancu dan misterius. Seakan penulis mengarang untuk sekedar mengumpulakn berbagai permasalahan hukum dan bukan untuk supaya dipahami. Kita bisa melihat tes-teks yang rumit untuk dipahami itu dalam buku Mukhtasar Al Khalil, Al Minhaj karya Zakriyya Al Anshari dan Al Kanz karya Al Nasafi dan masih banyak lagi.

Buku-buku yang sulit untuk ditembus pemahamannya kemudian memunculkan gaya kreatifitas minim baru berbentuk komentar (syarkh) dan (komentar atas komentar (khasyiah). Konsentrasi para ulama terhadap karya-karya ini kemudian menyebabakan keacuhan mereka terhadap pengkajian terhadapkhazanah fikih madzhab lain. Buku-buku ini sudah jelas akan kering dari proses dan praktek istidlal sehingga kompetensi yang dihasilkan dari upaya mengkajinya tidak akan mampu membedakan antara pengkaji dengan bukan pengkaji kecuali banyak sedikit koleksi permasalahan yang diketahui.

Tidak ada komentar: