Jumat, 28 Desember 2007

Polarisasi Fikih Abad I

Polarisasi madzhab fikih menjadi Ahlul Hadits dan Ahlul Al Ra’yi sekilas mudah untuk dipahami. Padahal sebenarnya klasifikasi pemikiran fikih ini tidak akan mungkin dilakukan kecuali dengan mempertimbangkan periode waktu, kategorisasi tokoh, perspektif hukum dan variabel-variabel lain yang kompleks. Hanya saja, buku-buku sejarah fikih dengan tanpa mempertimbangkan beberapa aspek di atas telah mencampuradukkan keduanya dan kurang tepat membaca sejarah fikih sebenarnya.

Varibael-variabel yang kompleks telah membuat beberapa sejarawan fikih untuk tidak mendiskripsikan polarisasi itu secara hitam putih dan lugu. Sayang sekali, buku-buku sejarah, beberapa pemikir dan apa yang ada di pikiran awam sementara terlanjur dikuasi wacana klasifikasi sebagai hasil telaah yang parsial. Kebanyakan kita hanya menukil atau taklid semata kepada telaah sejarah fikih yang ada sebelumnya.

Ada variable periode waktu yang seharusnya perlu dipertimbangkan dalam melihat polarisasi itu. Karena dinamika fikih abad I ternyata distingsif dengan abad II. Apakah klasifikasi itu akan kita letakkan pada periode fikih abad I atau abad II? Sehingga kita nanti tidak mengatakan bahwa klasifikasi Hijaz sebagai Ahlul Hadits dan Irak sebagai Ahlul Al Ra’yi telah terjadi pada abad I.

Dalam arti, polarisasi Hijaz sebagai Ahlul Hadits dan Kufa sebagai Ahlul Al Ra’yi bisa dikatakan benar jika memang ada realitas yang mengatakan demikian. Atau minimal setelah munculnya data karakteristik masing-masing yang menjadikan klasifikasi itu benar. Dalam konteks ini, data sejarah ternyata berbicara lain. Kecenderungan tekstual maupun rasional pada abad I tidak bisa semata-mata ditentukan oleh letak greografis, Hijaz dan Irak.

Minimal ada dua fakta yang bisa diungkap. Pertama, pakar fikih Irak abad I tidak terisolasi dari para pakar di Hijaz. Terutama pada masa Tabi’in. Keduanya mempunyai sumber hukum dengan materi dan jumlah yang dekat. Jika perantauan ilmiah sudah dimulai pada masa Sahabat maka Ia terus berlanjut pada masa Tabi’in. Jika khazanah fikih Hijaz merupakan riwayat-riwayat Umar, Abdullah Ibn Umar, Aisyah dan Zayd Ibn Tsabit maka begitupun Irak. Ibn Al Qayyim menceritakan bahwa para pakar fikih di Irak waktu itu mengambil hampir sepenuhnya dari Umar, Aisyah dan Ali.

Di samping banyak pakar fikih Irak yang semula merupakan pakar yang ada di Hijaz, begitupun banyak pakar fikih Irak yang belajar ke Hijaz. Di antara mereka, misalnya ‘Alqamah Ibn Al Qays (62 H) yang berguru kepada Umar, Utsman, Ali, dan Khudzaifah. Masruq Ibn Al Ajda’ berguru kepada Abdullah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’b, Ibn Umar dan Aisyah. Begitu juga pakar-pakar fikih lain seperti Aswad Ibn Yazid (74 H), Sa’id Ibn Zubayr (94 H), Amir Ibn Syarakhil (102 H) yang berguru kepada pakar-pakar fikih di Hijaz. Fenomena yang massif ini mengindikasikan bahwa polariasi sedemikan rupa menjadi a-historis.

Kedua, fakta bahwa pakar fikih generasi abad I menggunakan Hadits dan Al Ra’y dengan orientasi dan titik berat yang sama. Said Ibn Al Musayyab, pemimpin pakar fikih Hijaz menghapal banyak Hadits dan pentilasan Umar, begitu juga fatwa-fatwa Zayd Ibn Tsabit. Said dan Zayd Ibn Tsabit tidak riskan menggunakan Al Ra’y. Ia dikenal seringkali berijtihad dalam kasus-kasus yang ada dalil tekstualnya. Ali Ibn Husain menjulukinya “A’lam al nas bi ma tuqaddimuhu min al atsar, wa afqahuhum min ra’yihi”. Salah satu muridnya adalah Rubai’ah Ibn Abi Abdirrahman Farukh yang kemudian dikenal Rubai’ah Al Ra’yi karena seringkali berargumentasi dengan Al Ra’y.

Ibn Syihab juga dikenal demikian. Rubai’ah pernah berkata kepadanya “Hai Abu Bakr. Jika Anda berbicara dengan pendapat Anda (Al Ra’y) kabarkan kepada mereka bahwa itu pendapat Anda. Dan jika Anda berbicara kepada mereka dengan Sunnah maka kabarkan bahwa itu adalah Sunnah. Sehingga mereka tidak menyana bahwa itu adalah pendapat Anda”.

Di kalangan pakar fikih Kufa, kita menemukan Alqamah dan Al Aswad yang berguru kepada Umar dan Aisyah, lalu Abu Darda di Syam. Mereka juga mengikuti pendapat-pendapat Malik Ibn Anas ketika mereka mengintrodusir pendapat-pendapat hukum Ibn Al Qasim (Mesir) dan Sahnun (Afrika). Karena kita tahu Ibn Al Qasim belajar kepada Malik dan Sahnun sendiri belajar kepada Ibn Al Qasim. Belum lagi adanya fakta ada sahabat yang keluar dari Madinah. Mereka juga belajar kepada pakar hukum yang berada di Irak dan seluruh penjuru Islam waktu itu. Ilmu pada periode ini saling mengintervensi.


Dengan melakukan komparasi metode dan materi yang digunakan oleh para pakar fikih Hijaz dan Irak pada abad I tersimpul bahwa kategorisasi para alim HIjaz sebagai Ahlul Hadits dan alim Irak sebagai Ahlul Al Ra’yi pada abad I tidak lah tepat. Apa yang bisa kita baca dari perkembangan fikih pada abad pertama seharusnya adalah polarisasi Madrasah Hijaz dan Madrasah ‘Iraq. Klasifikasi ini lebih pas untuk membaca polarisasi yang ada, meski keduanya memiliki metode dan sumber hukum yang sama.


Perbedaannya terletak pada problem yang dihadapi. Merefleksikan corak fikih yang berbeda. Madinah bercorak tradisi kenabian dan Khulafa Al Rasyidin. Sedangkan Irak, dengan khazanah Hadits yang juga banyak, dilingkupi khazanah tradisi lain. Tradisi kebebasan berpikir, kompleksitas budaya dan debat yang merupakan keahlian mereka. Wajar jika ciri khas kitab-kitab fikih mereka kemudian terletak pada perdebaan hukum, seni beragumentasi dan takhrij.


Titik temu keduanya sesungguhnya terletak pada cara menyikapi perkembangan sosio-kultur masing-masing. Mengembangkan metode ijtihad yang responsif atas dinamisme dan pluralitas. Mereka mengreasi maslahah mursalah, qiyas, urf dan lain sebagainya. Dibantu keimanan yang mendalam, kepahaman atas semangat hukum Islam, Ibn Al Qayyim mendiskripsikan Al Ra’y yang dibesut oleh Sabahat sebagai “ungkapan hati” setelah dilakukan pemikiran dan perenungan yang matang. Bahkan Ibn Abd Al Birr mengidentifikasi mayoritas Tabi’in di semesta wilayah Islam menggunakan Al Ra’y. Di Madinah adalah Said Ibn Al Musayyab, Sulaiman Ibn Yasar dan Al Qasim Ibn Muhammad.

Kamis, 27 Desember 2007

Perkembangan Evolutif Fikih


Perjalanan fikih telah melampaui beberapa fase sejarah. Semenjak pertama kali lahir di tangan Muhammad sebagai hasil interpretasi Al Quran sampai sekarang sebagai hasil penyimpulan para pakar fikih, yang dulu dikenal sebagai fuqaha (bentuk plural faqih). Perjalanan itu sangat berliku, tidak linear. Menyangkut sumber hukum, metode inferensial, dan corak produk hukumnya. Kebutuhan kontemporer atas hukum-hukum yang bisa kongruen dengan bangunan sosial dan budaya, menjadikan perbicangan karakter hukum Islam menjadi penting.

JIka kita telaah sejarah, ada fase di mana fikih lebih mengandalkan orientasi tekstual. Ada juga rasional atau bahkan pendekatan kontekstual dengan mengekplorasi wawasan maqashid syariah. Yang terakhir lebih kepada bagaimana menangkap idea moral Al Quran. Menerjemhkannya dalam konteks kontemporer. Pendekatan tekstual dilakukan karena memang situasi sosial dan budaya yang belum beranjak. Pakar hukum masih merasakan kesatuan suasana dengan masa di mana Al Quran diturunkan.

Pendekatan tekstual dibesut dengan mensinergikan berbagai data tekstual atau lazim disebut inter-tektualitas. Khazanah Al Quran, Hadits, dan Atsar (pentilasan Sahabat) dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mencari pemaknaan hukum atas suatu kasus yang tidak terjadi sebelumnya. Jadi, tektualitas dalam kondisi seperti ini belum tentu anti konteks. Karena konteks, secara empiris, masih berlanjut. Atau meminjam bahasa Yahya Muhammad, mereka masih berada dalam “fase teks”. Bahkan Imam Malik mengintrodusir tradisi penduduk Madinah sebagai sumber hukum meski bertentangan dengan Al Qur’an seperti dalam kasus waris.

Pendekatan rasional merasa perlu dilakukan saat itu. Apalagi di saat yang sama pemekaran masalah terjadi semakin ektensif. Hadits-hadits palsu juga menggelembung semakin tak terkendali. Jika kita mengaca pada abad II, Abu Hanifah adalah pakar hukum pertama dalam kondisi seperti itu melakukan penyimpulan hukum. Ia harus mengisi kekosongan teks dengan melakukan penalaran. Lahir lah hukum-hukum yang sesuai dengan kondisi Baghdad saat itu. Masyarakat dengan kemajuan budaya lebih tinggi dan kompleks daripada Madinah.

Sedangkan pendekatan idea moral dalam penyimpulan hukum Fikih barangkali dimulai oleh Al Juwaini abad V H. Muridnya yang cemerlang, Al Ghazali, berhasil mengembangkan pemikiran gurunya ketika merilis karyanya Al Mustashfa. Konon, Al Juwaini kerap iri dengan muridnya yang satu ini. Dikhawatirkan akan benar-benar terjadi, popularitasnya akan tertutupi Al Ghazali. Meski dia tetap ikhlas dan saying kepadanya. Bahkan bangga mempunyai murid semisal Al Ghazali. Puncak dari pendekatan idea moral itu ada di tangan Al Syatibi dengan karya monumentalnya, Al Muwafaqat. Buku dua jilid ini mengubah orientasi penyimpulan hukum Islam kepada sesuatu episteme yang tak pernah terpikirkan secara konseptual sebelumnya, yaitu maqashid syariah atau idea moral Al Quran. Atau bisa disamakan dengan the spirit of law.

Gagasan maqashid syariah sudah jelas dilatarbelakangi kondisi fikih yang dekaden. Pendekatan tekstual harus didukung dengan pendekatan kontekstual dengan menerjemahkan semangat di balik hukum. Orientasi tekstual dipandang kurang efektif karena kontruksi sosio-kultur yang berbeda sama sekali. Bahkan tekstualitas justru menjebak pada keberagaman tafsir hukum yang tak terbendung. Dengan maqashid syariah, pakar-pakar hukum Islam seperti Al Juwaini, Al Ghazali dan Al Syatibi menghendaki hukum bisa lebih disepakati, kontekstual sesuai dengan kontruksi sosial dan budaya yang berkembang.

Hemat penulis, ketiga pendekatan tersebut tidak bersifat kontradiktif. Tapi komplementatif-kondisional. Latar belakang sosio-kultur mengharuskan mereka melakukan pendekatan yang berbeda. Berbagai pendekatan itu jika kita telaah secara dalam-dalam, akan lahir sebuah kesimpulan bahwa ketiganya menghendaki kebaikan masyarakat. Yaitu ketika semua pendekatan tercipta karena orientasi kemaslahatan yang menghendakinya. Mengikuti analisa Hassan Hanafi, teks adalah kemaslahatan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka, tugas kita adalah mengapresiai segala bentuk pendekatan itu dengan mendudukkannya pada karakter historis masing-masing.