Selasa, 29 Januari 2008

Fikih Pra Islam

Masyarakat Arab Pra Islam terbagi menjadi dua; kota dan badui. Masyarakat kota hidup menetap dan menciptakan budaya. Bercocok tanam dan bedagang. Suku Quraisy sudah mempunyai musim ekpedisi dagang. Di musim panas mereka berdagang ke Syam. Di musim dingin mereka ke Yaman. Masyarakat badui hidup nomaden. Mencari air dan wilayah hijau. Mereka adalah penggembala dan kebanyakan tak bisa baca tulis. Hidup di padang pasir yang berjarak, terpencar di setiap pojok dan ujung wilayah sahara. Tidak jarang bertengkar dan bermusuhan. Karakter mereka suka merampas, merampok dan berperang.

Ada karakter yang menyatukan kedua tipe masyarakat ini. Orang Arab adalah pemberani. Tak betah direndahkan. Tak pernah takut dan pembalas dendam sejati. Mereka umumnya penyabar dengan kerasnya kehidupan. Mempunyai pikiran yang tajam dan penalaran yang lurus. Mereka tidak menyukai pamer dan anti pengekangan. Setiap anggota kabilah bersikap loyal kooperatif dalam kebaikan maupun keburukan. Menolong saudaranya, baik ia dlalim atau didlalimi. Jika ada yang tak membela, para penyair dengan lantunan puisi yang keras dan tajam, meruntuhkan martabat dan kehormatannya.

Tradisi balas dendam adalah misi dan kewajiban suci orang Arab. Mereka menyakini darah harus dibalas darah. Waktu itu tidak ada otoritas yang berhak menyelesaikan perkara dan tidak pula pihak keamanan yang menjamin stabilitas. Yang terjadi adalah, setiap orang yang berselisih menyelesaikan perkara. Rekonsiliasi terjadi jika pembalas dendam merasa ciut dengan kekuatan kabilah yang membuat masalah.

Makkah adalah pusat aktifitas di beberapa musim dan di waktu pelaksanaan haji. Di sana mereka membanggakan keturunan, memuliakan nenek moyang terutama di pentas Suq Ukaz. Mendendangkan puisi pujian dan cercaan. Makkah menjadi komunitas keilmuan yang cukup diskursif, pusat elaborasi dan ekpresi sastra, pun sentral pergerakan ekonomi di negera-negara Hijaz.

Mayosiras Arab menyembah berhala. Sebagian mereka yang tercerahkan ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani percaya hari kebangkitan, tauhid dan melarang mengubur anak perempuan. Mereka tidak pula minum arak dan berjudi. Salah satu dari pemimpin mereka bernama Qas ibn Saidah Al Ayadi. Ia pernah menuliskan “Al Bayyinah ala man idda’a wa al yaminu ala man ankara” (Saksi bagi penggugat dan sumpat bagi tergugat)

Tidak ada hukum yang dicoba-kontruksi secara definitif dan sistematis. Mereka mengikuti saja tradisi kabilah-kabilah. Banyak hukum dipengaruhi ajaran-ajaran Kristen. Ayah adalah pemimpin keluarga. Ia ditataati. Anggota keluarga mengambil nasehat-nasehatnya. Individu keluarga mempunyai kebebasan dan independensi diri dan keuangan. Di sisi lain puisi-puisi Arab mencerminkan perempuan-perempuan yang dihormati. Laki-laki bangga dengan garis nasab perempuan dan laki-laki. Perempuan juga berperan menasehati laki-laki. Mereka bercampur laki-laki menekuni segala aktifitas.

Dalam wilayah domestik keluarga, seorang bapak akan bermusyawarah dengan anak-anak perempuannya prihal siapa pasangan mereka. Banyak model pernikahan mereka kenal; Muqt, Mut’ah, Syighar, Isytibdla’, Akhdzan dan Baghaya. Meskipun begitu, pernikahan Muqt, seabagai salah satu model pernikahan pra Islam, sangat dibenci berbagai kabilah. Maka muncul terma nyinyir “walad muqti” (anak yang dibenci). “Al muqt” sendiri sinonim dengan “Al baghdlu al syadid” (kebencian yang sangat). Tradisi mengubur anak perempuan hanya dilakukan sebagian Bani Tamim dan Bani Asad. Itu pun terbatas pada komunitas miskin.

Tesis sebagian pengamat yang menyamakan kultur patriarkis (patria potetsas) Arab dengan Romawi, dihadapakan pada realitas ini menjadi ahistoris. Masyarakat romawi mamandang figur orang tua dengan kultus. Keturunan tidak mempunyai independensi harta bahkan dirinya sendiri. Pun, tidak ada bukti yang mendiskripsikan perempuan Romawi sebegitu dihormati ketika puisi-puisi Arab menggambarkan tingginya martabat perempuan.

Tradisi khitbah dan pernikahan yang lazim pada masa sekarang juga merupakan bagian dari tradisi mereka. Dalam masyarakat Arab menikahi dua perempuan bersaudara dibolehkan. Mereka pun mengenal banyak mekanisme talak; dlihar, ila dan talak seperti kita ketahui sekarang. Masyarakat Arab kebanyakan, tak mengenal batas hitungan talak. Setiap saja mentalak, mereka akan merujuknya kembali sebelum masa ‘idah (penantian). Jika terjadi setelah masa ‘idah, mereka tidak bisa mengawininya kembali kecuali atas persetujuan pihak perempuan.

Masih dalam wilayah domestik, mereka mengenal tiga bentuk warisan; Al Qarabah, Tabanni dan Al Half wa Al ‘Ahd. Yang terakhir dikenal dalam Islam dengan Al Muwalah. Dalam masalah kepemilikan mereka menyakini sebab-sebab kepemilikan; paksaan, waris, wasiat, hibah, jual beli dengan unsur judi dan hasil penipuan. Mereka juga tak merelakan uangnya untuk orang lain kecuali dengan kesepakatan riba (pelebihan). Ketika masa pinjaman sudah berlalu, pihak yang meminjami akan memberikan pilihan kepada si peminjam untuk memilih antara mengembalikan utuh atau melebihkan pinjaman. Mereka biasa mengatakan “Addi au arrib” (Lunasi atau lebihkan).

Di Madinah, kehidupan masyarakat Arab sebetulnya lebih berbudaya. Hasil interaksi yang lebih halus, terbuka dan mendalam dengan penganut Yahudi dan Nasrani menjadikan ebih banyak dasar-dasar agama dan hukum mereka yang diserap.

Dalam mekanisme penentuan keturuan ketika terjadi sengketa mereka mengenal qiyafah. Tidak hanya itu, qiyafah juga berfungsi dalam keputusan tindak kriminal. Orang Arab bisa mengenali siapa pelaku dengan meneliti jejak-jejak kaki. Farrasah juga merupakan bagian dari keahlian orang Arab menentukan siapa pelaku kriminal dengan memperhatikan suara, raut wajah dan gerak orang yang berbicara. Cara lain adalah Qassamah dan Qur’ah.

Seperti yang sudah penulis ilustrasikan, masyarakat Arab merasa bisa hidup tenang jika dendam sudah terbayarkan. Darah harus dibalas dengan darah dan nyawa harus ditebus dengan nyawa. Mereka tidak mengenal klasifkasi kriminal atas dasar rekayasa atau kekeliruan sebagaimana Islam. Hanya saja mereka mengenal praktek kompenasasi material yaitu mekanisme diyat yang kemudian dimodifikasi Islam.

Begitu juga Arab sudah mengenal etika-etika kehidupan tersendiri. Etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh bebagai kalangan kabilah.


Dalam tradisi politik, mereka mengenal syura. Dalam hal peribadatan, kepercayaan dan ritual mereka melakukan penghormatan Ka`bah dan Tanah Suci Makkah, prosesi Haji dan Umrah, mensucikan Bulan Ramadhan, memuliakan bulan Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharram, Rajab yang sering disebut “Al Asyhur Al Haram” dan berkumpul di hari Jum`at.