Selasa, 29 Januari 2008

Fikih Pra Islam

Masyarakat Arab Pra Islam terbagi menjadi dua; kota dan badui. Masyarakat kota hidup menetap dan menciptakan budaya. Bercocok tanam dan bedagang. Suku Quraisy sudah mempunyai musim ekpedisi dagang. Di musim panas mereka berdagang ke Syam. Di musim dingin mereka ke Yaman. Masyarakat badui hidup nomaden. Mencari air dan wilayah hijau. Mereka adalah penggembala dan kebanyakan tak bisa baca tulis. Hidup di padang pasir yang berjarak, terpencar di setiap pojok dan ujung wilayah sahara. Tidak jarang bertengkar dan bermusuhan. Karakter mereka suka merampas, merampok dan berperang.

Ada karakter yang menyatukan kedua tipe masyarakat ini. Orang Arab adalah pemberani. Tak betah direndahkan. Tak pernah takut dan pembalas dendam sejati. Mereka umumnya penyabar dengan kerasnya kehidupan. Mempunyai pikiran yang tajam dan penalaran yang lurus. Mereka tidak menyukai pamer dan anti pengekangan. Setiap anggota kabilah bersikap loyal kooperatif dalam kebaikan maupun keburukan. Menolong saudaranya, baik ia dlalim atau didlalimi. Jika ada yang tak membela, para penyair dengan lantunan puisi yang keras dan tajam, meruntuhkan martabat dan kehormatannya.

Tradisi balas dendam adalah misi dan kewajiban suci orang Arab. Mereka menyakini darah harus dibalas darah. Waktu itu tidak ada otoritas yang berhak menyelesaikan perkara dan tidak pula pihak keamanan yang menjamin stabilitas. Yang terjadi adalah, setiap orang yang berselisih menyelesaikan perkara. Rekonsiliasi terjadi jika pembalas dendam merasa ciut dengan kekuatan kabilah yang membuat masalah.

Makkah adalah pusat aktifitas di beberapa musim dan di waktu pelaksanaan haji. Di sana mereka membanggakan keturunan, memuliakan nenek moyang terutama di pentas Suq Ukaz. Mendendangkan puisi pujian dan cercaan. Makkah menjadi komunitas keilmuan yang cukup diskursif, pusat elaborasi dan ekpresi sastra, pun sentral pergerakan ekonomi di negera-negara Hijaz.

Mayosiras Arab menyembah berhala. Sebagian mereka yang tercerahkan ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani percaya hari kebangkitan, tauhid dan melarang mengubur anak perempuan. Mereka tidak pula minum arak dan berjudi. Salah satu dari pemimpin mereka bernama Qas ibn Saidah Al Ayadi. Ia pernah menuliskan “Al Bayyinah ala man idda’a wa al yaminu ala man ankara” (Saksi bagi penggugat dan sumpat bagi tergugat)

Tidak ada hukum yang dicoba-kontruksi secara definitif dan sistematis. Mereka mengikuti saja tradisi kabilah-kabilah. Banyak hukum dipengaruhi ajaran-ajaran Kristen. Ayah adalah pemimpin keluarga. Ia ditataati. Anggota keluarga mengambil nasehat-nasehatnya. Individu keluarga mempunyai kebebasan dan independensi diri dan keuangan. Di sisi lain puisi-puisi Arab mencerminkan perempuan-perempuan yang dihormati. Laki-laki bangga dengan garis nasab perempuan dan laki-laki. Perempuan juga berperan menasehati laki-laki. Mereka bercampur laki-laki menekuni segala aktifitas.

Dalam wilayah domestik keluarga, seorang bapak akan bermusyawarah dengan anak-anak perempuannya prihal siapa pasangan mereka. Banyak model pernikahan mereka kenal; Muqt, Mut’ah, Syighar, Isytibdla’, Akhdzan dan Baghaya. Meskipun begitu, pernikahan Muqt, seabagai salah satu model pernikahan pra Islam, sangat dibenci berbagai kabilah. Maka muncul terma nyinyir “walad muqti” (anak yang dibenci). “Al muqt” sendiri sinonim dengan “Al baghdlu al syadid” (kebencian yang sangat). Tradisi mengubur anak perempuan hanya dilakukan sebagian Bani Tamim dan Bani Asad. Itu pun terbatas pada komunitas miskin.

Tesis sebagian pengamat yang menyamakan kultur patriarkis (patria potetsas) Arab dengan Romawi, dihadapakan pada realitas ini menjadi ahistoris. Masyarakat romawi mamandang figur orang tua dengan kultus. Keturunan tidak mempunyai independensi harta bahkan dirinya sendiri. Pun, tidak ada bukti yang mendiskripsikan perempuan Romawi sebegitu dihormati ketika puisi-puisi Arab menggambarkan tingginya martabat perempuan.

Tradisi khitbah dan pernikahan yang lazim pada masa sekarang juga merupakan bagian dari tradisi mereka. Dalam masyarakat Arab menikahi dua perempuan bersaudara dibolehkan. Mereka pun mengenal banyak mekanisme talak; dlihar, ila dan talak seperti kita ketahui sekarang. Masyarakat Arab kebanyakan, tak mengenal batas hitungan talak. Setiap saja mentalak, mereka akan merujuknya kembali sebelum masa ‘idah (penantian). Jika terjadi setelah masa ‘idah, mereka tidak bisa mengawininya kembali kecuali atas persetujuan pihak perempuan.

Masih dalam wilayah domestik, mereka mengenal tiga bentuk warisan; Al Qarabah, Tabanni dan Al Half wa Al ‘Ahd. Yang terakhir dikenal dalam Islam dengan Al Muwalah. Dalam masalah kepemilikan mereka menyakini sebab-sebab kepemilikan; paksaan, waris, wasiat, hibah, jual beli dengan unsur judi dan hasil penipuan. Mereka juga tak merelakan uangnya untuk orang lain kecuali dengan kesepakatan riba (pelebihan). Ketika masa pinjaman sudah berlalu, pihak yang meminjami akan memberikan pilihan kepada si peminjam untuk memilih antara mengembalikan utuh atau melebihkan pinjaman. Mereka biasa mengatakan “Addi au arrib” (Lunasi atau lebihkan).

Di Madinah, kehidupan masyarakat Arab sebetulnya lebih berbudaya. Hasil interaksi yang lebih halus, terbuka dan mendalam dengan penganut Yahudi dan Nasrani menjadikan ebih banyak dasar-dasar agama dan hukum mereka yang diserap.

Dalam mekanisme penentuan keturuan ketika terjadi sengketa mereka mengenal qiyafah. Tidak hanya itu, qiyafah juga berfungsi dalam keputusan tindak kriminal. Orang Arab bisa mengenali siapa pelaku dengan meneliti jejak-jejak kaki. Farrasah juga merupakan bagian dari keahlian orang Arab menentukan siapa pelaku kriminal dengan memperhatikan suara, raut wajah dan gerak orang yang berbicara. Cara lain adalah Qassamah dan Qur’ah.

Seperti yang sudah penulis ilustrasikan, masyarakat Arab merasa bisa hidup tenang jika dendam sudah terbayarkan. Darah harus dibalas dengan darah dan nyawa harus ditebus dengan nyawa. Mereka tidak mengenal klasifkasi kriminal atas dasar rekayasa atau kekeliruan sebagaimana Islam. Hanya saja mereka mengenal praktek kompenasasi material yaitu mekanisme diyat yang kemudian dimodifikasi Islam.

Begitu juga Arab sudah mengenal etika-etika kehidupan tersendiri. Etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh bebagai kalangan kabilah.


Dalam tradisi politik, mereka mengenal syura. Dalam hal peribadatan, kepercayaan dan ritual mereka melakukan penghormatan Ka`bah dan Tanah Suci Makkah, prosesi Haji dan Umrah, mensucikan Bulan Ramadhan, memuliakan bulan Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharram, Rajab yang sering disebut “Al Asyhur Al Haram” dan berkumpul di hari Jum`at.

Rabu, 23 Januari 2008

Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir

Lahirnya berbagai produk interpretasi yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai modernitas seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan pluralisme semakin mendesak dilejitkannya paradigma interpretasi baru yang mampu melampaui metode tafsir yang selama ini dipakai. Paradigma interpretasi baru yang akhir-akhir ini ditawarkan dan telah diaplikasikan secara serius oleh para pemikir modern dari Fazlurrahman sampai Nashr Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika.

Sebagai sebuah paradigma interpretasi, hermeneutika memang muncul dan berkembang di Barat. Berbeda dengan paradigma tafsir yang dinilai sebagian pemikir telah mengalami stagnasi, hermeneutika berkembang semenjak Schlemeicher – yang oleh Abu Zayd diklaim sebagai Bapak Hermeneutika dan representasi hermeneutika klasik – sampai polarisasi obyektifitasnya Emilio Betti dan subyektifitasnya Gadamer. Perkembangan hermeneutika telah melewati dialektika tesis, antitesis bahkan sintesa, sehingga mengkonsekwensikan corak hermeneutika yang begitu beragam, bahkan kontradiktif.

Menyimak asal usul hermeneutika, perkembangannya serta madzhab-madzhab hermeneutika memang menarik. Sama menariknya ketika kita merunut perkembangan tafsir klasik dengan melakukan kajian kritis terhadap dua arus penting metodologi tafsir yang dibangun semenjak abad ke ke 9 H sampai 13 H, yaitu tafsir riwayat (bil ma'tsur) dan pemikiran (bir ra’yi). Atau mencermati pemetaan ala Farmawi yang mengklasifikasi metode penafsiran al Qur’an menjadi empat: muqâran, ijmâli, tahlîli, dan mawdhû’i. Semua itu, akan menghantarkan kita pada suatu kesimpulan betapa semaraknya diskursus tafsir pada waktu itu. Akan tetapi sayang, kontinuitasnya sebagai paradigma interpretasi yang evolutif tidak menemukan dinamisasi signifikan oleh kalangan penggiatnya.

Akibatnya ketika hermeneutika ditawarkan, ia seolah menjadi "oase" di tengah gersangnya tafsir-tafsir yang ada. Terlebih, di era modern ini kalangan penggiat tafsir kurang agresif mempopulerkan kekayaan khazanah tafsir sebagai sebuah metode yang khas dalam Islam. Toby Lester pernah memuji Mu'tazilah yang ia anggap sebagai pioneer pendekatan rasional dalam studi Islam dan al Qur'an. Lester juga menyebut kalangan sarjana Islam mutakhir yang merintis dan melanjutkan kajian-kajian kritis al Qur'an yang dulu dimulai oleh Mu'tazilah, seperti Nashr Hamid Abu Zayd dan Mohamed Arkoun. Abu Zayd mengaku dalam banyak bukunya bahwa apa yang dia lakukan adalah melanjutkan studi al Qur'an dengan pendekatan literer yang telah dimulai oleh murid Muhammad Abduh, yaitu Amin Al Khauli dan istrnya, A'isyah bint al Syathi'. Bagi penulis, rintisan Abu Zayd merupakan "breakthrough" dan sangatlah penting ketika akhir-akhir ini yang muncul kepermukaan dan kerap diekspose oleh media massa adalah model tafsir yang rigid terhadap teks, sehingga lahir lah berbagai produk interpretasi yang cenderung bias gender, kurang mengapresiasi HAM dan tidak peka terhadap masalah-masalah sosial.

Upaya dinamisasi tafsir tentu masih mempunyai harapan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan analisa kritis dengan pisau bedah yang mempunyai daya sayat melacak esensi tafsir dan takwil, sejarah perkembangannya serta pemetaan metode dan berbagai corak tafsir. Analisa kritis ini lah yang akan menghantarkan para penggiat tafsir pada kondisi dan posisi obyektif tafsir. Strategi ini kemudian diikuti dengan melakukan kajian elaboratif dan komprehensif terhadap hermeneutika, pemantauan setiap perkembangan terbaru dan pemanfaatan terhadapnya.

Dalam hal ini, sikap kritis yang diajarkan dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi sisi menariknya. Ungkapan klasik Nietszhe yang sering dijadikan pegangan adalah ''Jangan lihat apa yang dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta apa kepentingan di balik semua itu.'' Dalam hermeneutika, seorang hermeneut dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks.

Lepas dari berbagai varian hermeneutika, ada kesamaan pola umum mengapresiasi 'kencan' segitiga (triadic) antara teks, pembuat teks dan pembaca (penafsir teks). Dan dari berbagai madzhab hermeneutika itu, dapat disimpulkan bahwa dalam memahami obyek, baik berupa teks-teks keagamaan, karya kesusastraan maupun dokumen-dokumen hukum, hermeneutika menekankan metode pendekatan linguistik, rekonstruksi historis, psikologis pengarang, antropologis, komparasi teks, dialogis, dan pembebasan diri interpreter dari bias subyektifitas. Pemahaman umum yang dikembangkan, sebuah teks selain produk pengarang, juga merupakan produk budaya (Abu Zayd) atau episteme suatu masyarakat (Foucault). Karenanya, konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.

Tentu saja, para penggiat tafsir bisa mengkongklusikan suatu unsur paradigma interpretasi baru dari berbagai madzhab hermeneutika yang ada. Mereka bisa membaca dan belajar dari titik berat analisa gramatikal, psikologi, komparasi dan rekontruksi historisnya Schlemeicher, integralitas konteks hidup dalam sebuah teks ala Dilthey dan Ricoeur. Sedangkan Husserl, baginya teks hanyalah fenomena yang harus dipahami menurut “kehendak murni” teks itu sendiri alias “opo onone. Mereka juga bisa menggandeng Gadamer yang tampil beda, di mana ia mengandaikan pemaknaan yang tidak hanya mereproduksi makna yang dikehendaki pembuat teks, tetapi lebih menekankan interpretasi produktif. Yang terakhir inilah 'cita rasa' hermeneutika Abu Zayd dalam bukunya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl.

Upaya belajar dari capaian madzhab-madzhab hermeneutika Barat tidak berarti mengadopsi dan mengaplikasikannya secara total dengan menanggalkan karakter khusus teks-teks Islam terutama al Qur'an. Jika para hermeneut Barat berangkat dari problem originality teks Bibel maka para hermeneut muslim bisa berangkat dari teks al Qur'an yang tidak mempunyai problem serupa. Begitu juga jika hermeneut Barat berusaha menciptakan makna yang lebih baik dari kehendak pengarang, maka dalam konteks al Qur'an tidak ada makna yang lebih baik dari apa yang dikehendaki Tuhan.

Di samping itu, segala ikhtiar interpretasi terhadap teks-teks Islam dengan tafsir-hermeneutis sebagai paradigmanya seharusnya berangkat dari berbagai bentuk problematika sosio-politik dan budaya yang dihadapi umat Islam dengan berbagai 'ciri khas'nya; keadilan, keterbelakangan, kemiskinan, otoritarianisme, HAM, pluralisme dan seterusnya. Dengan begitu, bentuk interaksi dengan budaya dan produk intelektual yang dihasilkan Barat tidak sekedar 'ekspor-impor' secara terbuka atau tertutup penuh, akan tetapi harus terjalin dalam sebuah proses dialektika yang kritis, intens dan produktif.

Upaya-upaya di atas bisa dilakukan apabila kita mempercayai hipotesa yang dikemukakan Nashr Hamid Abu Zayd dalam kitabnya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl yang menyatakan, "Al-hermeneutika (al-hermeneuthiqa) – idzan – qadliyyatun qadîmatun wa jadîdatun fi nafs al-waqti, wa hiya fi tarkiziha ‘ala ‘alaqati al-mufassir bi al-nash laysat qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujûduha al-mulih fi turâtsina al-‘arabi al-qadîm wa al-hadîts ‘ala sawa’." Artinya: "Hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama sekaligus baru. Konsentrasi pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks, bukan hanya diskursus dalam pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga ada dalam turats Arab, baik Arab klasik maupun kontemporer. Sehingga, hermeneutika sebetulnya merupakan kelanjutan saja dari tafsir klasik yang stagnan.

Menggagas Interaksi Positif Takwil dan Hermeneutika


Wacana yang dibawakan Abu Zayd seputar hermeneutika sebetulnya tak sedemikian kontroversial sebagaimana dikesankan para lawan pemikirannya. Kesan pertarungan ideologis justru lebih kelihatan daripada perbedaan pemikiran biasa. Jadi wajar jika cara tak terpuji harus dilakukan untuk menyerang Abu Zayd di antaranya dengan memelintir pernyataan dan tulisan-tulisannya sedemikian rupa. Pun jika perlu dengan penyekalan seperti baru-baru ini terjadi.

Dalam wawancara singkat penulis dengan Abu Zayd paska penyekalan, dia menyesalkan MUI yang mengeluarkan fatwa tetapi tidak pernah melakukan kajian serius atas suatu wacana dan pemikirannya. Padahal menurutnya figur ulama, sebagaimana dalam tradisi Islam klasik, adalah seorang “researcher”. Apakah tokoh-tokoh MUI mewakili seorang “researcher”? Abu Zayd juga menyesalkan Departemen Agama yang begitu gampangnya dimanipulasi golongan tertentu.

Penulis ragu jika para penyerang Abu Zayd telah betul-betul menganalisis buku-bukunya. Ada dua corak buku-buku Abu Zayd, pertama akademis-ilmiah dan kedua polemis. Buku-buku akademis-ilmiah adalah hasil karya ketika ia menjadi pengajar di Cairo University dan karenanya ia dikafirkan seperti “Isykaliyyah Al Ta’wil”, “Al Syafi’i Wa Ta’sis Al Idiyulujiya Al Wasathiyyah” dan “Mafhum Al Nash”. Sedangkan yang kedua adalah buku polemis sebagai pembelaan atas pengafiran dan bantahan kepada Shabour Syahin dan Muhammad Emarah seperti Naqd Al Khitab Al Dini dan Al Tafkir fi Zaman Al Takfir. Jika kita membaca keseluruhan isi buku-buku itu maka tidak ada sisi-sisi membahayakan sebagaimana dikesankan lawan pemikirannya kepada awam.

Di dalam banyak kesempatan di dalam bukunya, Abu Zayd justru menyarankan pembaca untuk kritis terhadap tradisi intelektual Barat termasuk hermeneutika. Ia hanya menekankan perlunya melakukan interaksi pemikiran sehingga kedua tradisi yang hidup ini mampu saling mengambil manfaat demi pengembangan tradisi intelektual masing-masing (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001). Tidak lebih dan tidak kurang. Mengenai apakah terma takwil harus digeser oleh hermeneutika ia tidak mempersoalkan. Atau bahkan tidak sepakat sebagaimana laiknya Hassan Hanafi.

Para penyerang Abu Zayd seringkali mengembalikan ketidakmungkinan takwil dan hermeneutika untuk melakukan interaksi positif karena, diantaranya, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Takwil berangkat dari tradisi Islam sebagai instrumen tafsir Al Quran sedangkan hermeneutika mengakar pada tradisi Kristen untuk menafsirkan Bible.

Dalam hal ini para penyerang itu tidak memahami bahwa kajian hermeneutika semenjak abad XVII telah keluar dari framework pemahaman teks-teks keagamaan dan menjadi metode tersendiri yang memperdebatkan proses pemahaman dan mekanisme interpretasi segala teks (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001). Perkembangan hermeneutika sebagai metode penafsiran dalam fase selanjutnya ini lah yang diharapkan berinteraksi dengan takwil. Ia juga telah keluar dari kecamuk problem otentisitas Bibel. Dengan demikian penafsiran Al Quran dengan memanfaatkan elemen hermeneutis menjadi mungkin setelah melampaui problem otentisitasnya.

Sedangkan problem penafsiran itu sendiri bukan lah isu baru dalam Islam. Ia mempunyai sejarah panjang dalam sejarah agama dan peradaban Islam. Titik berat kajian hermeneutika yang terletak pada analisa kritis terhadap peran pengujar (author), penerima (reader) dan teks (texts) juga merupakan problem klasik dalam sejarah penafsiran Al Quran – terutama dalam diskursus fikih – yang mengenal adanya istilah “qarain lafdziyah” (indikasi bahasa), “qarain ma’nawiyah” (indikasi semantik) dan “qarain khaliyah” (indikasi konteks). Di samping itu sejarah tafsir Al Quran mengenal dua genre penafsiran “Bil ma’tsur” dan “Bil ra’yi”.

Genre penafsiran “Bil ra’yi” mengandaikan penafsiran yang berangkat dari kekinian dan kedisinian penafsir. Berbeda dengan tafsir “bil ma’tsur” yang mengandaikan penafsiran Al Quran yang mengandalkan data-data sejarah di mana dan kapan Al Quran diturunkan untuk menangkap makna obyektif. Menariknya, banyak tafsir “Bil ma’tsur” yang mengandung elemen tafsir “Bil ra’yi” berupa ijtihad-ijtihad penafsiran seperti dilakukan Ibn Abbas. Sebaliknya tafsir “Bil ra’yi” banyak juga yang tidak menafikan data-data historis dan linguistik yang terkait dengan teks.

Alasan kedua ketakmungkinan menyandingkan takwil dengan hermeneutika karena keduanya secara etimologis berbeda. Jika takwil berorientasi penetapan makna maka hermeneutika berorientasi penisbian makna dan berubah-rubah sesuai pergerakan penafsir. Hal ini justru kontradiktif dengan pernyataan Musthafa Nasif, pakar bahasa yang dikutip penyerang Abu Zayd sendiri bahwa “kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat. Takwil juga merupakan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus” (Fahmi Salim, Beda Tafsir dan takwil, Republika, 31 Desember 2007). Di satu waktu dan di lain sisi Musthafa Nasif justru mendapat apresiasi Abu Zayd sebagai salah satu perintis kajian hermeneutika selain Luthfi Abdul Badi, Syukri Iyyad dan Jabir Ashfour (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001).

Penulis menjadi skeptis jika kritik-kritik yang dilancarkan kepada Abu Zayd berdasar pada gagasan dan kontruksi berpikir Abu Zayd yang sebenarnya. Sejauh karena mereka tidak tuntas menganalisa buku-buku Abu Zayd yang banyak mengapresiasi tradisi Islam klasik. Terlepas dari apresiasinya terhadap hermeneutika di lain sisi. Bahkan kajian Sayyid Qutb disebutnya sebagai salah satu perintis kajian sastra Al Quran selain Amin Khuli, Bintu Syathi dan Ahmad Khalafullah.

Baca saja penggambaran berlebihan tentang kontroversi Abu Zayd dalam tulisan Fahmi Salim sebagai berikut “Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan saksama oleh para ulama Muslim selama perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk memberi kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.”

Apa yang sesungguhnya mengerikan dalam elemen hermeneutis yang diusung Abu Zayd? Di mana letak yang membahayakan itu? Barangkali yang dikhawatirkan para penyerang itu adalah jika dialog takwil dan hermeneutika akan memlintir makna takwil sebenarnya. Dalam bahasa Fahmi Salim selanjutnya “Konsep itu (takwil) tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat”.

Sebuah kekhawatiran yang tidak seharusnya terjadi. Bukankah wacana “takhawwul dalali” (transformasi makna) telah ada dan masuk dalam kajian semantik yang sudah ada prosedur dan batasan-batasannya. Memang garis batas antara strukturalisme semantik dengan hermeneutik bahasa pernah kabur dan tumpang tindih. Semantik lebih berorientasi pada pemaknaan “syntaxtical” sedangkan hermeneutik lebih kepemahaman isi. Hermeneutika bahasa lebih kepemahaman isi dengan membuat telaah interpretif phenomenologik. Hermeneutika bahasa ini dalam tradisi Barat lebih dikenal sebagai hermeneutika Heidegger dan Derrida. Adapun hermeneutik ontologik Gadamer yang postmodern dapat disebut sebagai hermeneutik filsafat atau hermeneutik phenomenologik (Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, 2006).

Dalam sejarah intelektual Islam klasik kajian semantik sudah dibahas, dibuatkan prosedur dan batasan secara lebih berani – daripada para penyerang Abu Zayd yang mengkhawatirkan metode ini – oleh tokoh-tokoh linguistik semisal Al Farra’, Al Jahidl, Qadli Abdul Jabbar, Al Jurjani dan lain-lain dalam teori-teori mereka laiknya “al qashdu”, “ma’nal ma’na”, “majaz”, “nadlm” dan sebagainya (Abu Zayd, Al Ittijah Al ‘Aqli, 2003). Abu Zayd lah yang justru mengapresiasi temuan-temuan pakar bahasa Islam klasik ini dan menganggapnya sebagai elemen progresif yang mendesak untuk diungkap dan diajarkan ke publik.

Kamis, 03 Januari 2008

Fase Perkembangan Fikih

Pentas kehidupan dunia Arab sebelum Islam atau yang lazim di sebut sebagai fase Jahiliyyah sudah mempuyai ritual-ritual peribadatan dan tradisi-tradisi sosial yang berjalan. Hubungan dagang, kontelasi politik perang sampai etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh kabilah-kabilah yang ada. Begitu pun dalam ranah kehukuman, seperti aturan pernikahan, talak, transaksi jual beli, hukuman, denda dan konsep mahram. Mereka melarang laki-laki menikahi ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan sebagainya.

Ritual dan tradisi sosial yang ada merupakan sisa-sisa ajaran Ibrahim dan Ismail. Mereka mewariskan turun temurun. Ada distorsi tapi ada pula yang masih otentik dan murni. Sebagai hasil akulturasi ajaran dengan tradisi lokal yang badui atau akibat interaksi dengan budaya-budaya luar Arab.

Ritual dan tradisi merupakan undang-undang yang diberlakukan efektif dalam arti memiliki konsekwensi hukum. Corak kebudayaan yang tribal, patriarkis, dan primordial membentuk khazanah undang-undang yang kental dengan corak kebudayaan tersebut. Hukum waris yang terpusat pada kepala suku, marginalisasi perempuan, tradisi perang, dan fanatisme tribal adalah beberapa yang bisa dicontohkan.

Islam datang hendak membenahi situasi sosio-kultural yang ada. Ia mulai menyortir beberapa tradisi yang tidak sehat dan kebiasaan-kebiasaan jahiliyyah yang buruk. Meski Islam tetap mempertahankan beberapa tradisi yang baik tetap berjalan. Islam merubah orientasi hukum waris kepada keluarga, mendongkrak posisi perempuan dengan mekanisme fikih poligami dan waris 2:1. Islam juga menghilangkan fanatisme tribal menuju kesatuan Islam. Masih banyak hukum-hukum yang digeser oleh nilai-nilai Islam yang menurut N. J. Coulson, cukup radikal. Meski terlihat dengan politik transformasi yang gradatif.

Tidak sampai di situ, perkembangan fikih melewati fase-fase cukup distingsif. Musthafa Al Zarqa membagi 7 fase perkembangan fikih. Dari fase Muhammad sampai fase modern saat ini. Dari fase ketika otoritas hukum dan peradilan berada di tangan Muhammad sampai masa modern di mana fikih mulai menunjukkan geliat perkembangannya setelah sekian lama stagnan.

Jika kita ingin memerinci fase yang dibuat Musthafa Al Zarqa itu adalah sebagi berikut. Pertama, Fase Muhammad. Dia adalah otiritas hukum, fatwa dan peradilan. Fikih pada fase ini belum terodifikasi. Ia meninggalkan warisan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadits. Kedua, fase Khulafa Al Rasyidin sampai pertengahan abad I. Ketika Muawiyyah menjadi pemimpin yang despotis. Ini lah fase perkembangan fikih dimulai. Ketiga, fase pertengahan abad I sampai awal abad II. Pada fase ini lah fikih menjadi disiplin ilmu yang independen. Para pakar fikih berkonsentrasi mencoba-kembangkannya. Terbentuk institusi-institusi kajian fikih dan polarisasi metode ijtihad yang kemudian disebut madzhab. Ini lah fase yang disebut Musthafa Al Zarqa sebagai fondamen fikih.

Adanya dinamika fikih yang distingsif antara Dinasti Umawiyyah dengan Dinasi Abbasiyyah memang lahir karena kebijakan yang berbeda dari dua dinasti tersebut. Masa Abbasiyah ditandai peningkatan tajam peran tokoh hukum. Akomodasi politis pemimpin Abbasiyah mendorong untuk merencanakan pembangunan hukum negara dan tata masyarakat yang sesuai dengan Islam. Para tokoh hukum puas dengan komitmen keislaman yang ditunjukkan oleh pemimpin Abbasiyah. Hanya saja, situasi konflik yang terjadi pada masa Umawiyah, masih menyisakan bekasnya. Posisi tokoh hukum vis a vis negara yang sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum mengakibatkan penalaran dan produk-produk fikih berjarak dengan praktek kehukuman. Proyeksi teoritis hukum terlihat lebih kuat dibanding orientasi praksis seperti pada masa Umawiyah karena pada masa Umawiyah tokoh hukum lebih menjadi “pemimpin agama” daripada hakim peradilan. Kerja mereka lebih terfokus kepada masalah-masalah peribadatan dan ritual keagamaan.

Sedangkan fase ke empat dimulai semenjak pertengahan abad II sampai pertengahan abad IV. Fikih mencapapi puncak produktifitas ijtihad. Kodifikasi membuncah. Otoritas madzhab menguat. Ushul Fikih sebagai teori hukum Islam muncul di fase ini dan menemukan bentuknya yang sempurna. Masa-masa ini memang milik fikih. Ia sempurna. Menjadi the queen of Islamic science.

Dari pertengahan abad ke IV sampai ketika Baghdad runtuh di tangan Tartar pada pertengahan abad VII adalah fase ke lima fikih. Marak apa yang disebut sebagai tren intelektual dan kepengarangan baru yang terbatas pada tahrir, tahrij dan tarjih. Mereka bergerak di dalam madzhab dengan aura taklid dan fanatisme madzhab yang kental. Semenjak pertengahan abad VII sampai lahirnya kompilasi hukum Islam di Turki Utsmani yang disebut Majallah Al Aham Al ‘Adliyyah tahun 1286 H yang dipraktekkan sampai 1293 H adalah fase di mana fikih berada dalam kondisi terburuknya. Setelah lahirnya Majallah itu, akan dimulai fase fikih di abad modern.

Kita bisa melihat, rigiditas syari`at yang telah menyeberangi abad pertengahan menyisakan pengalaman pahit di abad modern. Perubahan sistem dan tata kehidupan yang gradual tetapi meniscayakan transmutasi yang besar menjadikan umat Islam dihadapkan pada benturan yang terus menerus antara warisan fikih tradisional dengan tuntutan-tuntutan modernitas. Pragmatisme hukum dan politik pada akhirnya menuntut umat Islam untuk berdialektika dengan capaian terakhir produks hukum Barat.

Di masa modern hubungan lintas negara menjadikan undang-undang umum (termasuk pidana), transaksi sipil dan perdagangan menjadi perhatian utama. Dalam tataran ini, fikih menunjukkan kelemahannya. Dalam undang-undang pidana, fikih masih menyimpan beban regresif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip humanisme modern seperti potong tangan dan rajam. Warisan klasik juga masih mewarisi sisa-sisa tradisi tribal yang tidak memandang tindak pembunuhan sebagai melanggar peraturan sipil sebagaimana dalam konsep modern.

Turki Utsmani sudah meminjam undang-undang Eropa dalam banyak bidang semenjak 1839 sampai 1876 M. Undang-Undang Perdagangan yang muncul pada tahun 1850 M merupakan terjemah dari Undang-Undang Perdagangan Prancis, meski memuat sebagian materi yang memperbolehkan praktek riba. Dengan Undang-Undang Pidana tahun 1858 M yang merupakan terjemah Undang-Undang Pidana Prancis, Turki Utsmani mengamandemen hukum hudud kecuali hukuman mati bagi tindakan apostasi. Diikuti dengan Undang-Undang Berita Acara Perdagangan tahun 1861 M dan Undang-Undang Perdagangan Laut tahun 1863 M yang didasarkan pada Undang-Undang bikinan Prancis.

Mesir pada tahun 1875 M telah berbuat lebih jauh ketika mengadopsi hukum-hukum desain Prancis. Di samping merilis Undang-Undang Pidana, Perdagangan dan Kelautan, mereka membuat pengadilan sekular yang menerapkan semua undang-undang ini. Bahkan Undang-Undang Sipil telah diterapkan Mesir dengan mengadopsi Undang-Undang Prancis, meskipun memuat sedikit materi yang diambil dari fikih.

Hasil dari kebijakan-kebijakan prinsipil Turki Utsmani, undang-undang Eropa kemudian mendasari sistem undang-undang negara-negara Timur Tengah. Tahun 1926 Turki merilis Undang-Undang Pidana dengan patokan Undang-Undang Italy, kemudian Undang-Undang Berita Acara mengambil dasar Undang-Undang Jerman. Begitupun Mesir mengadopsi Undang-Undang Pidana Italy (1937) yang sekarang banyak mempengaruhi Undang-Undang Libanon. Di Libya, Undang-Undang Italy bercampur dengan Undang-Undang Prancis. Majallah hanya diterapkan di Yordania, setelah di Turki ia diamandemen tahun 1927 dan menempatkan undang-undang Swiss.

Praktis dan mudah dibaca, semenjak akhir abad XIX praktek fikih terbatas wilayah Akhwal Syakhsiyyah. Akhwal Syakhsiyyah di sini dimaknai sebagai Undang-Undang Domestik seperti sistem Waris, Pernikahan, Waqaf dan Hibah. Kecuali negara-negara Arab seperti Saudi, Yaman yang masih mempertahankan fikih dalam semua aspek undang-undangnya.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa implementasi fikih selama ini tidak hanya harus berbenturan dengan kepentingan dan aktifitas politik, akan tetapi batu sandungan juga terjadi pada fikih yang tak mampu memberikan solusi Islam bagi fenomena modernitas secara dinamis dan fleksibel. Jalan pintas yang dipilih oleh pemerintah negara-negara Muslim bukan hanya karena alasan politis akan tetapi dihantui pandangan fikih yang belum mampu keluar dari nalar regresif yang berabad-abad menguasai umat Islam.






Reformulasi Pendidikan Ilmu Fikih

Tentu akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk memahami teks-teks ambigu dalam Al Minhaj karya Zakariyya Al Anshari, Al Kanz karya Al Nasafi atau mungkin Mukhtashar Khalil. Dibutuhkan proses adaptasi terhadap gaya bahasa yang tak lazim dan penalaran yang berat dan njlimet. Pun masih dibutuhkan kewaspadaan akan kesalahpahaman dalam membaca dan memahami.

Waktu belajar dan jenjang pendikan yang disediakan bisa jadi akan tidak efektif jika dikonsentrasikan untuk mengkaji tiga buku itu atau buku-buku semisalnya. Karya-karya yang ditulis dengan target pengkayaan masalah dan penghematan kosa kata dan kalimat di samping mempersulit juga tidak mendidik kea rah kreatifitas hukum karena seringali tidak menyertakan proses istidlal dan penyertaan argumentasi.

Banyak orang yang mengatakan jika kita memang hanya sampai pada level muqallid kenapa ita harus belajar istidlal. Toh sepandai apapun kita tidak boleh melampaui pendapat pendahulu, mentarjih apalagi berseberangan dengan mereka. Masa-masa kreatifitas itu sudah tutup jika tidak boleh dikatakan bangrut. Apa manfaatnya kita belajar istidlal atau mengkaji karya-karya ulama belakangan sekarang ini.

Pendapat atau bisa jadi prinsip di atas bisa jadi benar untuk kalangan awam. Akan tetapi tentu saja tidak untuk kalangan pengkaji atau pakar fikih. Mereka bertanggungjawab memberikan solusi hukum bagi permasalahan baru yang mengharuskan ada proses kreatifitas istdilal dan penalaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang sama sekali baru. Minimal mereka harus mengerti darimana patron imam mereka mengambil sumber hukum, mengerti bagaimana pendapat yang bersebarang dan bagaimana mereka melakukan istidlal.

Berhentinya level tradisi fikih pad taraf seperti ini lah yang bertanggung jawab atas kemandekan opini-opini fikih yang seharusnya bisa ditawarkan dalam ranga pembangunan hukum dalam konteks modern. Hal itu disebabkan karena praktisi fikih merasa tidak mempunyai pendapat atas permasalahan-permasalahan baru yang muncul dan tidak adanya upaya kreatif memikirkannya dalam konteks variable hukum yang serba baru atau belum pernah ada.

Fenomena semacam ini bisa jadi juga dipengaruhi oleh kebjakan pendidikan fikih yang tidak mengarah kepada penciptaan nalar kreatif dan otentik. Kurikulum dan akses buku-buku fikih abad ke 4 H dan 5 H misalnya, terutama yang dibesut oleh pemimpin madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, Al Auza’i, Al Syafi’i, Ibn Hanbal, Al Thabari, Ibn Hazm dan sebagainya, jarang disentuh dan dikaji secara mendalam.

Sehingga, seperti apa yang diharapkan oleh Muhammad Khudlari Bik dalam bukunya Tarikh Al Tasyri Al Islami, dibutuhkan sekarang ini model pendidikan fikih yang berorientasi kepada buku-buku induk. Sistem juga dibuat berjenjang dengan orientasi penguasaan yang bertahap. Barangkali pertama-tama mereka disuguhi dengan pendapat-pendapat Imam madzhab dengan memilih buku yang mudah dipahami.

Tahap kedua mereka mulai mengakses karya-karya yang mempresentasikan berbagai pendapat mam madzhab yang ditulis oleh imam dalam madzhab yan kadang berbeda dengan Imam mereka. Atau mereka yang biasa mentarjih dan memliih saah satu pendapat dengan memperhatikan kekuatan argumentasi. Dalam hal ini bisa dipilihkan buku-buku yang mempresentasikan opini-opini madzhab yang berbeda. Pada tahap ini mereka mulai belajar tafsir dan hadits.

Tahap terakhir mereka mengkhususkan diri pada kajian fqh dan ushul. Begitu juga apa yang berhubungan dengan hukum yang diambil dari sumber Al Quran dan Hadits. Mereka harus mulai mempelajari pendapat Imam dan memperhatikan metode istidlal mereka. Hal ini dilakukan dengan memlihkan buku-buku induk yang ditulis pada abad ke 4 H dan 5 H. buku-buku ini lah yang menyimpan ruh fikih sebenarnya.

Problem Pendidikan Ilmu Fikih

Mulai awal abad ke 10 H nyaris kita tidak bisa menemukan lagi di Mesir pakar fikih sekaliber Al Izz Ibn Abdissalam, Ibn Al Hajib, Ibn Daqiq Al Id, Ibn Al Rif’ah, Ibn Taimiah, Al Subki, Ibn Al Qayyim, Al Bulqini, Al Isnawi dan Kamal Ibn Al Hamam. Pun pakar sekaliber dua jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan jalauddin Al Suyuthi. Praktis tradisi fikih yang kreatif lambat laun diambang kematian.

Setelah periode para pakar itu kemudian tidak ditemukan kecuali kelompok pengkaji fikih yang mencukupkan diri dengan karya sebelumnya dan menghindari pembahsan fikih antar madzhab. Jika pun mereka mengkaji fikih, mereka mencukupkan diri dengan buku-buku ikhtishar yang sulit dan rumit untuk dipahami. Yang untuk memahai maksud penulis saja memerlukan waktu yang cukup panjang.

Sejarawan fikih, Muhammad Khudlari Bik, dalam bukunya Tarikh Al Tasyri Al Islami mengembalikan kematian tradisi kreatifitas dan otentisitas fikih kepada tiga faktor. Pertama, keterputusan hubugan antara ulama di berbagai wilayah Islam. Sebagaimana dilukiskan oleh G. Makdsi bahwa salah satu cirri khas tradisi intelektual Islam adalah kosmopolitanisme. Seorang pakar fikih pada masa-masa awal Islam akan lebih dihargai ketika ia melakukan perkelanaan dan melakukan talaqi dengan para guru yang otoritatif.

Jika kita melihat biografi para ulama fikih akan menemukan bagaimana mereka mempunyai tradisi perkelaaan untuk belajar fikih dn hadits. Makkah adalah tempat di mana para ulama melakukan reuni intelektual dan perkenalan dengan ulama lain. Mereka bertukar ikira dan pengalaman untuk menambah materi pengetahuan dan meningkatkan kasih sayang di antara mereka. Dalam arti, jaringan keilmuan dan emosiaonal antara para ulama betul-betul terpelihara.

Salah satu alasan para ulama untuk melakukan perkelanaan adalah adalah berangkat dari anggapan bahwa salah satu pondasi dari intelektualistas mereka adalah talaqqi dan periwayatan. Mereka menganggap bahwa belajar dari bacaan tidak lah mencukupi. Karena buku dianggap kaku, diam dan beku. Sedangkan talaqqi memberikan kesempatan bagi ulama untuk mengembangkan wacana dengan melakukan perdebatan dan dialog.

Kedua, keterputusan hubungan antara kita dengan buku-buku induk yang dkarang oleh Imam Madzhab. Kajian terhadap buku-buku Induk karangan Imam Malik, Syafi’I dan Abu Hanidah sudah hampir tidak diketemukan. Para ulama belakagan lebih mnegenal pendapat dan ijtihad para generasi setelah abad ke 4 daripada generasi pertama. Buku-buku yang menjadi refernesi bacaan mereka ternyata dalah produk fikih di masa-masa merosotnya nilai kreatifitas dan otentisitas.

Ketiga, akibat negative dari tradisi ikhtishar yang cenderung mempersulit pemahaman fikih. Ikhtishar bukan lah hal baru. Ia sudah di mulai pada masa-masa pertama fikih berkembang. Ikhtishar pada masa-masa pertama leih kepada menyortir bagian-bagian buku yang dianggap tidak perlu. Kemudian juga ada upaya mencoba-sistemasisasikan pembahasan. Adapun gaya ikhtishar selanjutnya berubah menjadi sebuah tradisi yang asing. Yaitu mengumpulkan berbagai permasalahan dengan bahasa sedikit dan sehemat mungkin. Hasilnya adalah buku-buku fikih yang susah dan rumit untuk dipahami.

Ketika karakter dan insting bahasa Arab (al saliqah al arabiyyah) menjadi lemah maka rangkaian kalimat dalam buku-buku itu menjadi tek-teks ambigu, rancu dan misterius. Seakan penulis mengarang untuk sekedar mengumpulakn berbagai permasalahan hukum dan bukan untuk supaya dipahami. Kita bisa melihat tes-teks yang rumit untuk dipahami itu dalam buku Mukhtasar Al Khalil, Al Minhaj karya Zakriyya Al Anshari dan Al Kanz karya Al Nasafi dan masih banyak lagi.

Buku-buku yang sulit untuk ditembus pemahamannya kemudian memunculkan gaya kreatifitas minim baru berbentuk komentar (syarkh) dan (komentar atas komentar (khasyiah). Konsentrasi para ulama terhadap karya-karya ini kemudian menyebabakan keacuhan mereka terhadap pengkajian terhadapkhazanah fikih madzhab lain. Buku-buku ini sudah jelas akan kering dari proses dan praktek istidlal sehingga kompetensi yang dihasilkan dari upaya mengkajinya tidak akan mampu membedakan antara pengkaji dengan bukan pengkaji kecuali banyak sedikit koleksi permasalahan yang diketahui.

Rabu, 02 Januari 2008

Genealogi Terma Fikih

Adanya ayat Al Quran yang meggunakan redaksi fikih dengan berbagai varian derivasinya mengindikasikan bahwa terma fikih sudah ada sejak zaman pra Islam. Kita bisa mengutip surat Thaha ayat 27-28, wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qaauli yang artinya “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, Supaya mereka mengerti perkataanku”. Dalam ilmu morfologi Arab, kata yafqahu adalah derivasi dari bentuk asli (mashdar), fikih.

Akan tetapi penggunaan kata fikih pada masa pra Islam tak mempunyai makna yang sama seperti makna terminologis yang sekarang kita kenal sebagai hukum Islam atau pengetahuan seputar hukum Islam. Kata fikih dalam ayat itu mempunyai arti mengerti (al ‘ilm) dan memahami (al fahm) sampai kepada batas yang mendalam. Maka bisa kita pahami jika pada masa itu tidak dikenal terma fuqaha; “mereka yang mempunyai kepakaran di bidang hukum”.

Al Amidi dalam bukunya Al Ihkam, (1/7) membedakan antara al ‘ilm dan al fahm. Keduanya merupakan makna fikih. Menurutnya, Al fahm adalah kecerdasan nalar, meskipun orang yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan (al ‘ilm) laiknya orang yang tidak tahu tapi sejatinya ia brilian. Masih terkait makna al fahm, Ibn Al Qayyim dalam I’lam Al Mauqi’in (1/264) menganggap al fikih lebih istimewa dari al fahm. Ia menuliskan “Fikih lebih istimewa karena ia adalah kekuatan daya tangkap seseorang atas pihak yang berbicara (mutakallim). Sedangkan al fahm adalah memahami apa yang tertulis. Karena perbedaan daya tangkap ini lah, berbeda tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka”.

Sepertinya, terma fikih kemudian mengalami spesifikasi ketika masuk ke dataran makna terminologis. Ia dimaknai sebagai pengetahuan seputar hukum-hukum syar’i setelah melakukan penelitian dan penyimpulan hukum. Pengertian terminologis ini menjadikan fikih mempunyai kesan makna yang lebih serius dan ilmiah. Akan tetapi pada prakteknya, ketika kita mengatakan “sesungguhnya fikih mempunyai karakter yang lengkap dan fleksibel” arti yang dimaksud sesungguhnya adalah kumpulan hukum-hukum yang dipraktekkan” (Al Zarqa’, Al Madkhal Al Fikihi Al ‘Amm, 24-25). Citra atau kesan ilmiah itu berkurang.

Laiknya fenomena bahasa secara general. Cakupan dan perubahan makna fikih selalu dipengaruhi perkembangan lingkungan di luar dirinya. Kekayaan kosa kata dalam semua bahasa sangat dipengaruhi oleh interaksi bahasa itu dengan budaya di luar budaya yang membentuk dan memilikinya. Bangsa Arab ketika mengalami futuhat ke wilayah-wilayah Yunani dan Persi harus melahirkan bahasa-bahasa baru. Muncul lah terma al arudl, al bahr al thawil, al madid, al nahw, al fa’il, al maf’ul, al qadliyyah, al qiyas, al istihsan dst. sebagai konsekwensi bagi proses akulturasi dan adaptasi budaya.

Dalam sejarah bahasa Arab, para pakar linguistik seperti Abu Al Aswad, Sibawaih, Al Khalil, Al Farra’, Al Akhfasy dan para pakar lain waktu itu yang terpolarisasi dalam madzhab Basrah atau Kufah terdorong untuk merumuskan tata bahasa Arab yang sanggup melindungi otentisitas bahasa dari perkembangan yang liar, tak terkontrol dan mendistorsi akibat persentuhan budaya.

Terma fikih juga mengalami perkembangan serupa. Meski perkembangan itu tak terjadi secara radikal akan tetapi melalui proses evolusi dalam beberapa fase waktu dan sejarah. Bahkan fikih pernah mempunyai makna yang sama sekali berbeda. Para alim abad I dan II H menggunakan terma fikih mencakup tema-tema tasawwuf dan ilmu kalam. Dalam sebuah cerita Imran Al Munqiri, Hasan (Abu Said) mengatakan bahwa al faqih adalah al zahid fi al dunya, al raghib fi al akhirah, al bashir bi amri dinihi al mudawim ala ibadati rabbihi (Faqih adalah orang yang zuhud di dunia, menyukai akhirat, mengerti perkara agama dan selalu beribadah kepada Tuhannya). Riwayat ini bisa kita temukan dalam Sunan Al Darimi.

Banyak terma fikih tersebut dalam khazanah pengetahuan Islam abad I dan II H yang berbeda sama sekali dengan pemaknaannya pada masa sekarang. Catat saja, Ali Ibn Abi Thalib pernah menggunakan terma fikih yang justru merujuk kepada tema-tema moralistik. Ia mengatakan “Faqih, sebenar-benar faqih, adalah orang yang tidak menjauhkan manusia dari kasih sayang Allah, tidak membiarkan mereka dalam kemaksiatan, tidak mengajak mereka kepada siksa Allah dan tidak meninggalkan Al Quran demi perkara lain…”. Tidak adanya spesifikasi yang khusus atas terma fikih ini terjadi sampai pertengahan abad ke dua. Maka kita masih bisa memahami jika Abu Hanifah menuliskan Al Fikih Al Akbar yang nota bene berbicara bukan fikih, melainkan akidah.

Setelah terma fikih melewati abad ke dua, terutama setelah cabang pengetahuan hukum Islam mekar dan berkembang sedemikan rupa, ia mulai mengalami spesifikasi makna. Yaitu ketika karya-karya induk dalam disiplin ini cukup merata di seentareo wilayah Islam dan diikuti tradisi pengembangan literatur-literatur induk berupa syarkh (komentar), ikhtishar, khulasah (resume) syarkh-syarkh (komentar atas komentar) yang membuncah. Wacana fikih mulai menghegemoni. Bahkan kemudian sampai bisa disimpulkan bahwa teori hukum Islam yang mulanya disistematiasikan Al Syafi’i di abad II menjadi laiknya the queen of Islamic science.

Pada saat itu, fikih mengalami spesifikasi makna seperti sekarang kita pahami. Meski kita tidak bisa menutup mata, penggunaan fikih dengan makna lain masih seringkali terjadi. Meski bukan mainstream. Al Ghazali, yang hidup di abad V H, masih menggunakan terma fikih dengan makna yang bersifat moralistik. Meski ia seringkali harus memberikan klarifikasi. Tepatnya jika Anda mencermati ulasan yang ia berikan dalam buku fikih-tasawwuf-nya, Ihya Ulumudin (1/21-28).

Maka kemudian banyak alim yang tak nyaman dengan penggunaan terma fikih yang tak terspesifikasi. Mereka memberikan definisi yang bisa mencakup berbagai penggunaan dimaksud. Fikih adalah mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan merugikan diri seseorang. Definisi ini mencakup tema-tema akidah dan tasawwuf. Tapi jika Anda menambahkan redaksi “’amalan” (perbuatan) maka secara otomatis definisi itu akan mengeklusi akidah dan tasawwuf. Dan tinggal lah tema-tema terkait hukum. Itu lah fikih yang sekarang kita pahami.