Kamis, 03 Januari 2008

Fase Perkembangan Fikih

Pentas kehidupan dunia Arab sebelum Islam atau yang lazim di sebut sebagai fase Jahiliyyah sudah mempuyai ritual-ritual peribadatan dan tradisi-tradisi sosial yang berjalan. Hubungan dagang, kontelasi politik perang sampai etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh kabilah-kabilah yang ada. Begitu pun dalam ranah kehukuman, seperti aturan pernikahan, talak, transaksi jual beli, hukuman, denda dan konsep mahram. Mereka melarang laki-laki menikahi ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan sebagainya.

Ritual dan tradisi sosial yang ada merupakan sisa-sisa ajaran Ibrahim dan Ismail. Mereka mewariskan turun temurun. Ada distorsi tapi ada pula yang masih otentik dan murni. Sebagai hasil akulturasi ajaran dengan tradisi lokal yang badui atau akibat interaksi dengan budaya-budaya luar Arab.

Ritual dan tradisi merupakan undang-undang yang diberlakukan efektif dalam arti memiliki konsekwensi hukum. Corak kebudayaan yang tribal, patriarkis, dan primordial membentuk khazanah undang-undang yang kental dengan corak kebudayaan tersebut. Hukum waris yang terpusat pada kepala suku, marginalisasi perempuan, tradisi perang, dan fanatisme tribal adalah beberapa yang bisa dicontohkan.

Islam datang hendak membenahi situasi sosio-kultural yang ada. Ia mulai menyortir beberapa tradisi yang tidak sehat dan kebiasaan-kebiasaan jahiliyyah yang buruk. Meski Islam tetap mempertahankan beberapa tradisi yang baik tetap berjalan. Islam merubah orientasi hukum waris kepada keluarga, mendongkrak posisi perempuan dengan mekanisme fikih poligami dan waris 2:1. Islam juga menghilangkan fanatisme tribal menuju kesatuan Islam. Masih banyak hukum-hukum yang digeser oleh nilai-nilai Islam yang menurut N. J. Coulson, cukup radikal. Meski terlihat dengan politik transformasi yang gradatif.

Tidak sampai di situ, perkembangan fikih melewati fase-fase cukup distingsif. Musthafa Al Zarqa membagi 7 fase perkembangan fikih. Dari fase Muhammad sampai fase modern saat ini. Dari fase ketika otoritas hukum dan peradilan berada di tangan Muhammad sampai masa modern di mana fikih mulai menunjukkan geliat perkembangannya setelah sekian lama stagnan.

Jika kita ingin memerinci fase yang dibuat Musthafa Al Zarqa itu adalah sebagi berikut. Pertama, Fase Muhammad. Dia adalah otiritas hukum, fatwa dan peradilan. Fikih pada fase ini belum terodifikasi. Ia meninggalkan warisan hukum yang ada dalam Al Quran dan Hadits. Kedua, fase Khulafa Al Rasyidin sampai pertengahan abad I. Ketika Muawiyyah menjadi pemimpin yang despotis. Ini lah fase perkembangan fikih dimulai. Ketiga, fase pertengahan abad I sampai awal abad II. Pada fase ini lah fikih menjadi disiplin ilmu yang independen. Para pakar fikih berkonsentrasi mencoba-kembangkannya. Terbentuk institusi-institusi kajian fikih dan polarisasi metode ijtihad yang kemudian disebut madzhab. Ini lah fase yang disebut Musthafa Al Zarqa sebagai fondamen fikih.

Adanya dinamika fikih yang distingsif antara Dinasti Umawiyyah dengan Dinasi Abbasiyyah memang lahir karena kebijakan yang berbeda dari dua dinasti tersebut. Masa Abbasiyah ditandai peningkatan tajam peran tokoh hukum. Akomodasi politis pemimpin Abbasiyah mendorong untuk merencanakan pembangunan hukum negara dan tata masyarakat yang sesuai dengan Islam. Para tokoh hukum puas dengan komitmen keislaman yang ditunjukkan oleh pemimpin Abbasiyah. Hanya saja, situasi konflik yang terjadi pada masa Umawiyah, masih menyisakan bekasnya. Posisi tokoh hukum vis a vis negara yang sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan hukum mengakibatkan penalaran dan produk-produk fikih berjarak dengan praktek kehukuman. Proyeksi teoritis hukum terlihat lebih kuat dibanding orientasi praksis seperti pada masa Umawiyah karena pada masa Umawiyah tokoh hukum lebih menjadi “pemimpin agama” daripada hakim peradilan. Kerja mereka lebih terfokus kepada masalah-masalah peribadatan dan ritual keagamaan.

Sedangkan fase ke empat dimulai semenjak pertengahan abad II sampai pertengahan abad IV. Fikih mencapapi puncak produktifitas ijtihad. Kodifikasi membuncah. Otoritas madzhab menguat. Ushul Fikih sebagai teori hukum Islam muncul di fase ini dan menemukan bentuknya yang sempurna. Masa-masa ini memang milik fikih. Ia sempurna. Menjadi the queen of Islamic science.

Dari pertengahan abad ke IV sampai ketika Baghdad runtuh di tangan Tartar pada pertengahan abad VII adalah fase ke lima fikih. Marak apa yang disebut sebagai tren intelektual dan kepengarangan baru yang terbatas pada tahrir, tahrij dan tarjih. Mereka bergerak di dalam madzhab dengan aura taklid dan fanatisme madzhab yang kental. Semenjak pertengahan abad VII sampai lahirnya kompilasi hukum Islam di Turki Utsmani yang disebut Majallah Al Aham Al ‘Adliyyah tahun 1286 H yang dipraktekkan sampai 1293 H adalah fase di mana fikih berada dalam kondisi terburuknya. Setelah lahirnya Majallah itu, akan dimulai fase fikih di abad modern.

Kita bisa melihat, rigiditas syari`at yang telah menyeberangi abad pertengahan menyisakan pengalaman pahit di abad modern. Perubahan sistem dan tata kehidupan yang gradual tetapi meniscayakan transmutasi yang besar menjadikan umat Islam dihadapkan pada benturan yang terus menerus antara warisan fikih tradisional dengan tuntutan-tuntutan modernitas. Pragmatisme hukum dan politik pada akhirnya menuntut umat Islam untuk berdialektika dengan capaian terakhir produks hukum Barat.

Di masa modern hubungan lintas negara menjadikan undang-undang umum (termasuk pidana), transaksi sipil dan perdagangan menjadi perhatian utama. Dalam tataran ini, fikih menunjukkan kelemahannya. Dalam undang-undang pidana, fikih masih menyimpan beban regresif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip humanisme modern seperti potong tangan dan rajam. Warisan klasik juga masih mewarisi sisa-sisa tradisi tribal yang tidak memandang tindak pembunuhan sebagai melanggar peraturan sipil sebagaimana dalam konsep modern.

Turki Utsmani sudah meminjam undang-undang Eropa dalam banyak bidang semenjak 1839 sampai 1876 M. Undang-Undang Perdagangan yang muncul pada tahun 1850 M merupakan terjemah dari Undang-Undang Perdagangan Prancis, meski memuat sebagian materi yang memperbolehkan praktek riba. Dengan Undang-Undang Pidana tahun 1858 M yang merupakan terjemah Undang-Undang Pidana Prancis, Turki Utsmani mengamandemen hukum hudud kecuali hukuman mati bagi tindakan apostasi. Diikuti dengan Undang-Undang Berita Acara Perdagangan tahun 1861 M dan Undang-Undang Perdagangan Laut tahun 1863 M yang didasarkan pada Undang-Undang bikinan Prancis.

Mesir pada tahun 1875 M telah berbuat lebih jauh ketika mengadopsi hukum-hukum desain Prancis. Di samping merilis Undang-Undang Pidana, Perdagangan dan Kelautan, mereka membuat pengadilan sekular yang menerapkan semua undang-undang ini. Bahkan Undang-Undang Sipil telah diterapkan Mesir dengan mengadopsi Undang-Undang Prancis, meskipun memuat sedikit materi yang diambil dari fikih.

Hasil dari kebijakan-kebijakan prinsipil Turki Utsmani, undang-undang Eropa kemudian mendasari sistem undang-undang negara-negara Timur Tengah. Tahun 1926 Turki merilis Undang-Undang Pidana dengan patokan Undang-Undang Italy, kemudian Undang-Undang Berita Acara mengambil dasar Undang-Undang Jerman. Begitupun Mesir mengadopsi Undang-Undang Pidana Italy (1937) yang sekarang banyak mempengaruhi Undang-Undang Libanon. Di Libya, Undang-Undang Italy bercampur dengan Undang-Undang Prancis. Majallah hanya diterapkan di Yordania, setelah di Turki ia diamandemen tahun 1927 dan menempatkan undang-undang Swiss.

Praktis dan mudah dibaca, semenjak akhir abad XIX praktek fikih terbatas wilayah Akhwal Syakhsiyyah. Akhwal Syakhsiyyah di sini dimaknai sebagai Undang-Undang Domestik seperti sistem Waris, Pernikahan, Waqaf dan Hibah. Kecuali negara-negara Arab seperti Saudi, Yaman yang masih mempertahankan fikih dalam semua aspek undang-undangnya.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa implementasi fikih selama ini tidak hanya harus berbenturan dengan kepentingan dan aktifitas politik, akan tetapi batu sandungan juga terjadi pada fikih yang tak mampu memberikan solusi Islam bagi fenomena modernitas secara dinamis dan fleksibel. Jalan pintas yang dipilih oleh pemerintah negara-negara Muslim bukan hanya karena alasan politis akan tetapi dihantui pandangan fikih yang belum mampu keluar dari nalar regresif yang berabad-abad menguasai umat Islam.






Tidak ada komentar: