Rabu, 23 Januari 2008

Menggagas Interaksi Positif Takwil dan Hermeneutika


Wacana yang dibawakan Abu Zayd seputar hermeneutika sebetulnya tak sedemikian kontroversial sebagaimana dikesankan para lawan pemikirannya. Kesan pertarungan ideologis justru lebih kelihatan daripada perbedaan pemikiran biasa. Jadi wajar jika cara tak terpuji harus dilakukan untuk menyerang Abu Zayd di antaranya dengan memelintir pernyataan dan tulisan-tulisannya sedemikian rupa. Pun jika perlu dengan penyekalan seperti baru-baru ini terjadi.

Dalam wawancara singkat penulis dengan Abu Zayd paska penyekalan, dia menyesalkan MUI yang mengeluarkan fatwa tetapi tidak pernah melakukan kajian serius atas suatu wacana dan pemikirannya. Padahal menurutnya figur ulama, sebagaimana dalam tradisi Islam klasik, adalah seorang “researcher”. Apakah tokoh-tokoh MUI mewakili seorang “researcher”? Abu Zayd juga menyesalkan Departemen Agama yang begitu gampangnya dimanipulasi golongan tertentu.

Penulis ragu jika para penyerang Abu Zayd telah betul-betul menganalisis buku-bukunya. Ada dua corak buku-buku Abu Zayd, pertama akademis-ilmiah dan kedua polemis. Buku-buku akademis-ilmiah adalah hasil karya ketika ia menjadi pengajar di Cairo University dan karenanya ia dikafirkan seperti “Isykaliyyah Al Ta’wil”, “Al Syafi’i Wa Ta’sis Al Idiyulujiya Al Wasathiyyah” dan “Mafhum Al Nash”. Sedangkan yang kedua adalah buku polemis sebagai pembelaan atas pengafiran dan bantahan kepada Shabour Syahin dan Muhammad Emarah seperti Naqd Al Khitab Al Dini dan Al Tafkir fi Zaman Al Takfir. Jika kita membaca keseluruhan isi buku-buku itu maka tidak ada sisi-sisi membahayakan sebagaimana dikesankan lawan pemikirannya kepada awam.

Di dalam banyak kesempatan di dalam bukunya, Abu Zayd justru menyarankan pembaca untuk kritis terhadap tradisi intelektual Barat termasuk hermeneutika. Ia hanya menekankan perlunya melakukan interaksi pemikiran sehingga kedua tradisi yang hidup ini mampu saling mengambil manfaat demi pengembangan tradisi intelektual masing-masing (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001). Tidak lebih dan tidak kurang. Mengenai apakah terma takwil harus digeser oleh hermeneutika ia tidak mempersoalkan. Atau bahkan tidak sepakat sebagaimana laiknya Hassan Hanafi.

Para penyerang Abu Zayd seringkali mengembalikan ketidakmungkinan takwil dan hermeneutika untuk melakukan interaksi positif karena, diantaranya, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Takwil berangkat dari tradisi Islam sebagai instrumen tafsir Al Quran sedangkan hermeneutika mengakar pada tradisi Kristen untuk menafsirkan Bible.

Dalam hal ini para penyerang itu tidak memahami bahwa kajian hermeneutika semenjak abad XVII telah keluar dari framework pemahaman teks-teks keagamaan dan menjadi metode tersendiri yang memperdebatkan proses pemahaman dan mekanisme interpretasi segala teks (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001). Perkembangan hermeneutika sebagai metode penafsiran dalam fase selanjutnya ini lah yang diharapkan berinteraksi dengan takwil. Ia juga telah keluar dari kecamuk problem otentisitas Bibel. Dengan demikian penafsiran Al Quran dengan memanfaatkan elemen hermeneutis menjadi mungkin setelah melampaui problem otentisitasnya.

Sedangkan problem penafsiran itu sendiri bukan lah isu baru dalam Islam. Ia mempunyai sejarah panjang dalam sejarah agama dan peradaban Islam. Titik berat kajian hermeneutika yang terletak pada analisa kritis terhadap peran pengujar (author), penerima (reader) dan teks (texts) juga merupakan problem klasik dalam sejarah penafsiran Al Quran – terutama dalam diskursus fikih – yang mengenal adanya istilah “qarain lafdziyah” (indikasi bahasa), “qarain ma’nawiyah” (indikasi semantik) dan “qarain khaliyah” (indikasi konteks). Di samping itu sejarah tafsir Al Quran mengenal dua genre penafsiran “Bil ma’tsur” dan “Bil ra’yi”.

Genre penafsiran “Bil ra’yi” mengandaikan penafsiran yang berangkat dari kekinian dan kedisinian penafsir. Berbeda dengan tafsir “bil ma’tsur” yang mengandaikan penafsiran Al Quran yang mengandalkan data-data sejarah di mana dan kapan Al Quran diturunkan untuk menangkap makna obyektif. Menariknya, banyak tafsir “Bil ma’tsur” yang mengandung elemen tafsir “Bil ra’yi” berupa ijtihad-ijtihad penafsiran seperti dilakukan Ibn Abbas. Sebaliknya tafsir “Bil ra’yi” banyak juga yang tidak menafikan data-data historis dan linguistik yang terkait dengan teks.

Alasan kedua ketakmungkinan menyandingkan takwil dengan hermeneutika karena keduanya secara etimologis berbeda. Jika takwil berorientasi penetapan makna maka hermeneutika berorientasi penisbian makna dan berubah-rubah sesuai pergerakan penafsir. Hal ini justru kontradiktif dengan pernyataan Musthafa Nasif, pakar bahasa yang dikutip penyerang Abu Zayd sendiri bahwa “kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat. Takwil juga merupakan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus” (Fahmi Salim, Beda Tafsir dan takwil, Republika, 31 Desember 2007). Di satu waktu dan di lain sisi Musthafa Nasif justru mendapat apresiasi Abu Zayd sebagai salah satu perintis kajian hermeneutika selain Luthfi Abdul Badi, Syukri Iyyad dan Jabir Ashfour (Abu Zayd, Isykaliyyah, 2001).

Penulis menjadi skeptis jika kritik-kritik yang dilancarkan kepada Abu Zayd berdasar pada gagasan dan kontruksi berpikir Abu Zayd yang sebenarnya. Sejauh karena mereka tidak tuntas menganalisa buku-buku Abu Zayd yang banyak mengapresiasi tradisi Islam klasik. Terlepas dari apresiasinya terhadap hermeneutika di lain sisi. Bahkan kajian Sayyid Qutb disebutnya sebagai salah satu perintis kajian sastra Al Quran selain Amin Khuli, Bintu Syathi dan Ahmad Khalafullah.

Baca saja penggambaran berlebihan tentang kontroversi Abu Zayd dalam tulisan Fahmi Salim sebagai berikut “Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan saksama oleh para ulama Muslim selama perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk memberi kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan.”

Apa yang sesungguhnya mengerikan dalam elemen hermeneutis yang diusung Abu Zayd? Di mana letak yang membahayakan itu? Barangkali yang dikhawatirkan para penyerang itu adalah jika dialog takwil dan hermeneutika akan memlintir makna takwil sebenarnya. Dalam bahasa Fahmi Salim selanjutnya “Konsep itu (takwil) tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat, yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, juga antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat”.

Sebuah kekhawatiran yang tidak seharusnya terjadi. Bukankah wacana “takhawwul dalali” (transformasi makna) telah ada dan masuk dalam kajian semantik yang sudah ada prosedur dan batasan-batasannya. Memang garis batas antara strukturalisme semantik dengan hermeneutik bahasa pernah kabur dan tumpang tindih. Semantik lebih berorientasi pada pemaknaan “syntaxtical” sedangkan hermeneutik lebih kepemahaman isi. Hermeneutika bahasa lebih kepemahaman isi dengan membuat telaah interpretif phenomenologik. Hermeneutika bahasa ini dalam tradisi Barat lebih dikenal sebagai hermeneutika Heidegger dan Derrida. Adapun hermeneutik ontologik Gadamer yang postmodern dapat disebut sebagai hermeneutik filsafat atau hermeneutik phenomenologik (Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, 2006).

Dalam sejarah intelektual Islam klasik kajian semantik sudah dibahas, dibuatkan prosedur dan batasan secara lebih berani – daripada para penyerang Abu Zayd yang mengkhawatirkan metode ini – oleh tokoh-tokoh linguistik semisal Al Farra’, Al Jahidl, Qadli Abdul Jabbar, Al Jurjani dan lain-lain dalam teori-teori mereka laiknya “al qashdu”, “ma’nal ma’na”, “majaz”, “nadlm” dan sebagainya (Abu Zayd, Al Ittijah Al ‘Aqli, 2003). Abu Zayd lah yang justru mengapresiasi temuan-temuan pakar bahasa Islam klasik ini dan menganggapnya sebagai elemen progresif yang mendesak untuk diungkap dan diajarkan ke publik.

Tidak ada komentar: