Adanya ayat Al Quran yang meggunakan redaksi fikih dengan berbagai varian derivasinya mengindikasikan bahwa terma fikih sudah ada sejak zaman pra Islam. Kita bisa mengutip
Akan tetapi penggunaan kata fikih pada masa pra Islam tak mempunyai makna yang sama seperti makna terminologis yang sekarang kita kenal sebagai hukum Islam atau pengetahuan seputar hukum Islam. Kata fikih dalam ayat itu mempunyai arti mengerti (al ‘ilm) dan memahami (al fahm) sampai kepada batas yang mendalam. Maka bisa kita pahami jika pada masa itu tidak dikenal terma fuqaha; “mereka yang mempunyai kepakaran di bidang hukum”.
Al Amidi dalam bukunya Al Ihkam, (1/7) membedakan antara al ‘ilm dan al fahm. Keduanya merupakan makna fikih. Menurutnya, Al fahm adalah kecerdasan nalar, meskipun orang yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan (al ‘ilm) laiknya orang yang tidak tahu tapi sejatinya ia brilian. Masih terkait makna al fahm, Ibn Al Qayyim dalam I’lam Al Mauqi’in (1/264) menganggap al fikih lebih istimewa dari al fahm. Ia menuliskan “Fikih lebih istimewa karena ia adalah kekuatan daya tangkap seseorang atas pihak yang berbicara (mutakallim). Sedangkan al fahm adalah memahami apa yang tertulis. Karena perbedaan daya tangkap ini lah, berbeda tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka”.
Sepertinya, terma fikih kemudian mengalami spesifikasi ketika masuk ke dataran makna terminologis. Ia dimaknai sebagai pengetahuan seputar hukum-hukum syar’i setelah melakukan penelitian dan penyimpulan hukum. Pengertian terminologis ini menjadikan fikih mempunyai kesan makna yang lebih serius dan ilmiah. Akan tetapi pada prakteknya, ketika kita mengatakan “sesungguhnya fikih mempunyai karakter yang lengkap dan fleksibel” arti yang dimaksud sesungguhnya adalah kumpulan hukum-hukum yang dipraktekkan” (Al Zarqa’, Al Madkhal Al Fikihi Al ‘Amm, 24-25). Citra atau kesan ilmiah itu berkurang.
Laiknya fenomena bahasa secara general. Cakupan dan perubahan makna fikih selalu dipengaruhi perkembangan lingkungan di luar dirinya. Kekayaan kosa kata dalam semua bahasa sangat dipengaruhi oleh interaksi bahasa itu dengan budaya di luar budaya yang membentuk dan memilikinya. Bangsa Arab ketika mengalami futuhat ke wilayah-wilayah Yunani dan Persi harus melahirkan bahasa-bahasa baru. Muncul lah terma al arudl, al bahr al thawil, al madid, al nahw, al fa’il, al maf’ul, al qadliyyah, al qiyas, al istihsan dst. sebagai konsekwensi bagi proses akulturasi dan adaptasi budaya.
Dalam sejarah bahasa Arab, para pakar linguistik seperti Abu Al Aswad, Sibawaih, Al Khalil, Al Farra’, Al Akhfasy dan para pakar lain waktu itu yang terpolarisasi dalam madzhab Basrah atau Kufah terdorong untuk merumuskan tata bahasa Arab yang sanggup melindungi otentisitas bahasa dari perkembangan yang liar, tak terkontrol dan mendistorsi akibat persentuhan budaya.
Terma fikih juga mengalami perkembangan serupa. Meski perkembangan itu tak terjadi secara radikal akan tetapi melalui proses evolusi dalam beberapa fase waktu dan sejarah. Bahkan fikih pernah mempunyai makna yang sama sekali berbeda.
Banyak terma fikih tersebut dalam khazanah pengetahuan Islam abad I dan II H yang berbeda sama sekali dengan pemaknaannya pada masa sekarang. Catat saja, Ali Ibn Abi Thalib pernah menggunakan terma fikih yang justru merujuk kepada tema-tema moralistik. Ia mengatakan “Faqih, sebenar-benar faqih, adalah orang yang tidak menjauhkan manusia dari kasih sayang Allah, tidak membiarkan mereka dalam kemaksiatan, tidak mengajak mereka kepada siksa Allah dan tidak meninggalkan Al Quran demi perkara lain…”. Tidak adanya spesifikasi yang khusus atas terma fikih ini terjadi sampai pertengahan abad ke dua. Maka kita masih bisa memahami jika Abu Hanifah menuliskan Al Fikih Al Akbar yang nota bene berbicara bukan fikih, melainkan akidah.
Setelah terma fikih melewati abad ke dua, terutama setelah cabang pengetahuan hukum Islam mekar dan berkembang sedemikan rupa, ia mulai mengalami spesifikasi makna. Yaitu ketika karya-karya induk dalam disiplin ini cukup merata di seentareo wilayah Islam dan diikuti tradisi pengembangan literatur-literatur induk berupa syarkh (komentar), ikhtishar, khulasah (resume) syarkh-syarkh (komentar atas komentar) yang membuncah. Wacana fikih mulai menghegemoni. Bahkan kemudian sampai bisa disimpulkan bahwa teori hukum Islam yang mulanya disistematiasikan Al Syafi’i di abad II menjadi laiknya the queen of Islamic science.
Pada saat itu, fikih mengalami spesifikasi makna seperti sekarang kita pahami. Meski kita tidak bisa menutup mata, penggunaan fikih dengan makna lain masih seringkali terjadi. Meski bukan mainstream. Al Ghazali, yang hidup di abad V H, masih menggunakan terma fikih dengan makna yang bersifat moralistik. Meski ia seringkali harus memberikan klarifikasi. Tepatnya jika Anda mencermati ulasan yang ia berikan dalam buku fikih-tasawwuf-nya, Ihya Ulumudin (1/21-28).
Maka kemudian banyak alim yang tak nyaman dengan penggunaan terma fikih yang tak terspesifikasi. Mereka memberikan definisi yang bisa mencakup berbagai penggunaan dimaksud. Fikih adalah mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan merugikan diri seseorang. Definisi ini mencakup tema-tema akidah dan tasawwuf. Tapi jika Anda menambahkan redaksi “’amalan” (perbuatan) maka secara otomatis definisi itu akan mengeklusi akidah dan tasawwuf. Dan tinggal lah tema-tema terkait hukum. Itu lah fikih yang sekarang kita pahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar