Kamis, 27 Desember 2007

Perkembangan Evolutif Fikih


Perjalanan fikih telah melampaui beberapa fase sejarah. Semenjak pertama kali lahir di tangan Muhammad sebagai hasil interpretasi Al Quran sampai sekarang sebagai hasil penyimpulan para pakar fikih, yang dulu dikenal sebagai fuqaha (bentuk plural faqih). Perjalanan itu sangat berliku, tidak linear. Menyangkut sumber hukum, metode inferensial, dan corak produk hukumnya. Kebutuhan kontemporer atas hukum-hukum yang bisa kongruen dengan bangunan sosial dan budaya, menjadikan perbicangan karakter hukum Islam menjadi penting.

JIka kita telaah sejarah, ada fase di mana fikih lebih mengandalkan orientasi tekstual. Ada juga rasional atau bahkan pendekatan kontekstual dengan mengekplorasi wawasan maqashid syariah. Yang terakhir lebih kepada bagaimana menangkap idea moral Al Quran. Menerjemhkannya dalam konteks kontemporer. Pendekatan tekstual dilakukan karena memang situasi sosial dan budaya yang belum beranjak. Pakar hukum masih merasakan kesatuan suasana dengan masa di mana Al Quran diturunkan.

Pendekatan tekstual dibesut dengan mensinergikan berbagai data tekstual atau lazim disebut inter-tektualitas. Khazanah Al Quran, Hadits, dan Atsar (pentilasan Sahabat) dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mencari pemaknaan hukum atas suatu kasus yang tidak terjadi sebelumnya. Jadi, tektualitas dalam kondisi seperti ini belum tentu anti konteks. Karena konteks, secara empiris, masih berlanjut. Atau meminjam bahasa Yahya Muhammad, mereka masih berada dalam “fase teks”. Bahkan Imam Malik mengintrodusir tradisi penduduk Madinah sebagai sumber hukum meski bertentangan dengan Al Qur’an seperti dalam kasus waris.

Pendekatan rasional merasa perlu dilakukan saat itu. Apalagi di saat yang sama pemekaran masalah terjadi semakin ektensif. Hadits-hadits palsu juga menggelembung semakin tak terkendali. Jika kita mengaca pada abad II, Abu Hanifah adalah pakar hukum pertama dalam kondisi seperti itu melakukan penyimpulan hukum. Ia harus mengisi kekosongan teks dengan melakukan penalaran. Lahir lah hukum-hukum yang sesuai dengan kondisi Baghdad saat itu. Masyarakat dengan kemajuan budaya lebih tinggi dan kompleks daripada Madinah.

Sedangkan pendekatan idea moral dalam penyimpulan hukum Fikih barangkali dimulai oleh Al Juwaini abad V H. Muridnya yang cemerlang, Al Ghazali, berhasil mengembangkan pemikiran gurunya ketika merilis karyanya Al Mustashfa. Konon, Al Juwaini kerap iri dengan muridnya yang satu ini. Dikhawatirkan akan benar-benar terjadi, popularitasnya akan tertutupi Al Ghazali. Meski dia tetap ikhlas dan saying kepadanya. Bahkan bangga mempunyai murid semisal Al Ghazali. Puncak dari pendekatan idea moral itu ada di tangan Al Syatibi dengan karya monumentalnya, Al Muwafaqat. Buku dua jilid ini mengubah orientasi penyimpulan hukum Islam kepada sesuatu episteme yang tak pernah terpikirkan secara konseptual sebelumnya, yaitu maqashid syariah atau idea moral Al Quran. Atau bisa disamakan dengan the spirit of law.

Gagasan maqashid syariah sudah jelas dilatarbelakangi kondisi fikih yang dekaden. Pendekatan tekstual harus didukung dengan pendekatan kontekstual dengan menerjemahkan semangat di balik hukum. Orientasi tekstual dipandang kurang efektif karena kontruksi sosio-kultur yang berbeda sama sekali. Bahkan tekstualitas justru menjebak pada keberagaman tafsir hukum yang tak terbendung. Dengan maqashid syariah, pakar-pakar hukum Islam seperti Al Juwaini, Al Ghazali dan Al Syatibi menghendaki hukum bisa lebih disepakati, kontekstual sesuai dengan kontruksi sosial dan budaya yang berkembang.

Hemat penulis, ketiga pendekatan tersebut tidak bersifat kontradiktif. Tapi komplementatif-kondisional. Latar belakang sosio-kultur mengharuskan mereka melakukan pendekatan yang berbeda. Berbagai pendekatan itu jika kita telaah secara dalam-dalam, akan lahir sebuah kesimpulan bahwa ketiganya menghendaki kebaikan masyarakat. Yaitu ketika semua pendekatan tercipta karena orientasi kemaslahatan yang menghendakinya. Mengikuti analisa Hassan Hanafi, teks adalah kemaslahatan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Maka, tugas kita adalah mengapresiai segala bentuk pendekatan itu dengan mendudukkannya pada karakter historis masing-masing.

Tidak ada komentar: